Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Menyelamatkan Kima dari Kepunahan di Rumah Konservasi Toli-toli
19 November 2022 16:35 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Indonesia merupakan salah satu surga bahari di dunia yang menyimpan beragam aneka biota laut tak terkecuali dengan Kima. Mungkin sebagian banyak orang masih belum tahu apa itu Kima. Kima merupakan spesies kerang terbesar yang ada di laut.
ADVERTISEMENT
Pesisir pantai Sulawesi Tenggara (Sultra) menjadi salah satu tempat hidup spesies kerang terbesar itu. Namun sangat disayangkan, biota laut yang hanya hidup di wilayah laut tropis itu ternyata berada di ambang kepunahan. Jumlahnya kian menurun akibat ulah jahil tangan manusia yang tidak bertanggung jawab.
Hal itulah yang menjadi semangat bagi Habib Nadjar Buduha untuk membentuk Tim Konservasi Kima Taman Laut Toli-Toli di Desa Toli-Toli, Kecamatan Lalonggasumeeto, Kabupaten Konawe sejak tahun 2009 silam secara mandiri. Bermodalkan dana pas-pasan, penyelamatan biota laut yang merupakan salah satu pahlawan laut itu dimulai.
"Kalau tidak dijaga, beberapa tahun ke depan kima yang kami juluki sebagai pahlawan laut ini akan punah," kata Habib sapaan akrabnya saat ditemui beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Habib mengungkapkan Kima sendiri memiliki manfaat yang sangat luar biasa untuk keberlangsungan ekosistem laut. Dalam kajian ilmiah, satu ekor kima bisa membersihkan air laut hingga berton-ton per harinya. Sehingga, Tim Konservasi Kima Toli-Toli melabeli biota tersebut sebagai pahlawan laut.
"Kami beri gelar Kima pahlawan laut, karena dia salah satu yang menyelamatkan laut dengan filter feeding. Setiap ekor Kima bisa menyaring untuk membersihkan air laut hingga berton-ton setiap hari, itu satu ekor bagaimana kalau banyak. Kerang biasa juga bisa tapi kecil," ungkapnya.
Habib mencontohkan jika sebuah kawasan laut tercemar oleh kotoran atau polusi, maka simpanlah Kima. Maka air laut akan bersih. Selain itu manfaat Kima adalah telurnya sebagai pakan untuk biota laut lainnya. Sekali Kima bertelur, setidaknya menghasilkan 500 juta sel telur.
ADVERTISEMENT
"Sekali bertelur ada 500 juta sel telur, 99 persen dimakan ikan dan 1 persen lengket di batu kemungkinan hidup asalkan tidak di makan gurita, ikan pari dan lainnya. Kima ini tumbuh 2 cm per tahun dan besar sedikit diambil orang," ungkap dia.
Kima sendiri terbagi menjadi dua spesies yakni Tridacna dan Hippopus. Dari 2 spesies itu kemudian dibagi menjadi 10 jenis kima diantaranya Tridacna Gigas, Tridacna Maxima, Tridacna Crocea, Tridacna Noae, Tridacna Squamosa, Tridacna Derasa, Tridacna Kimaboe, Tridacna Tevoroa, Hippopus-hippopus dan Hippopus Porcellanus.
Habib mengungkapkan dari 10 jenis Kima yang ada terbagi dalam kelompok ukuran, 4 Kima raksasa, 1 paling kecil dan sisanya berukuran sedang.
"Dari 10 jenis Kima yang ada di dunia, di sini kami punya 8 koleksi, kecuali Tridacna Tevoroa dan Tridacna Noae. Kalo Tevoroa dia hanya hidup Samudera Hindia di Tonga dan Fiji. Walaupun bisa dievakuasi ke sini, belum tentu bisa hidup," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Untuk membedakan masing-masing spesies Kima tersebut bisa melalui dua cara yakni secara morfologi dengan kasat mata melihat susunan bentuk luar dan uji DNA di laboratorium. Secara kasat mata, jenis Tridacna bersisik dan memiliki lubang di cangkangnya. Hal itu mengingat hidup Tridacna di bebatuan. Sedangkan spesies Hippopus tidak bersisik dan tidak memiliki lubang di cangkang. Hal itu mengingat hidup Hippopus berada di wilayah berpasir.
Kima sejauh ini masih dikonsumsi. Selain daging yang dimakan, cangkangnya biasanya dijadikan hiasan atau suvenir. Kima juga diperdagangkan dalam kondisi hidup sebagai biota hias, karena memiliki warna mantel yang cantik dan menyala.
Habib mengatakan Kima terbesar yang pernah ditemukan berada di Indonesia tepatnya di Tapanuli, Sumatera Utara. Jenis yang ditemukan masuk dalam keluarga Gigas. Cangkangnya bahkan mencapai 1,37 meter dan sudah diawetkan di Museum Kelautan Irlandia.
ADVERTISEMENT
"Paling besar itu Gigas ditemukan di Tapanuli Sumatera Utara di tahun 1827. Sudah paling besar di dunia ukurannya 1,37 meter. Sekarang cangkangnya sudah ada di museum kelautan di Irlandia, diamankan di sana," ujarnya.
Kima sendiri memiliki masa hidup mencapai 200 tahun lamanya. Namun bisa saja mati sedini mungkin dalam proses pertumbuhannya. "Kima ini hanya bisa hidup di laut tropis dan punya masa hidup dalam rentan selama 200 tahun lamanya. Tetapi dia juga bisa mati di usia muda," ujar dia.
Habib menuturkan masyarakat Indonesia khususnya Sultra harus patut berbangga diri karena memiliki satu jenis Kima yang sampai saat ini tidak ditemukan di tempat lain selain di perairan Pulau Labengki. Kima tersebut diberi nama sesuai nama kawasan itu, Tridacna Kimaboe. Tim Konservasi Kima Taman Laut Toli-Toli merupakan penemunya.
ADVERTISEMENT
"Kalau Tevoroa hanya ada di Samudera Hindia, maka kita harus bangga karena 1 jenis Kima hanya ada di Sultra tepatnya di perairan Pulau Labengki yang sudah diteliti oleh peneliti Australia dan kami beri nama Kimaboe. Kimaboe ini hanya hidup di palung-palung laut di Labengki, tidak bisa terkena arus dan ombak," ungkapnya.
Mini Museum Kima
Rumah Konservasi tersebut lambat laun diubah Habib menjadi mini museum Kima. Di mana sejak tahun 2009, Habib mulai mengumpulkan cangkang-cangkang Kima dari berbagai perairan di Sultra yang ditemukan tak bertuan alis rusak. Semua cangkang dibersihkan dan dipoles agar sedap dipandang.
"Jadi kalau mau lihat cangkang komplit ada di sini. Kami buat mini museum ini agar semua orang bisa belajar, siapa pun itu mau pelajar, mahasiswa, bule-bule (Turis asing)," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Habib menginginkan mini museum tersebut bisa dimanfaatkan masyarakat luas untuk belajar sebagai sarana edukasi tentang pahlawan laut tersebut. Bahkan Habib bersama tim berhasil mengumpulkan 9 dari 10 spesies Kima yang ada dan meletakkannya di kawasan konservasi tepat di belakang rumah konservasi.
"Museum Kima tidak ada di Indonesia biarpun LIPI tidak punya. Jadi ini sarana edukasi kita kepada masyarakat. Kalau mau lihat aslinya tinggal berenang ke belakang rumah konservasi kurang lebih ada 600 ekor," ujarnya.