Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Kematian Etika dan Harapan dalam Penemuan Fenomena Manusia dalam Bentuk Tarian
22 Mei 2021 14:48 WIB
Tulisan dari Patrick Ivan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sekaratnya dunia ditandai dengan adanya penemuan terbaru mengenai sebuah fenomena yang mengejutkan peradaban manusia. Penemuan fenomena dari kalangan balita hingga orang dewasa yang tidak diragukan lagi dapat menyebabkan menari dan tertawa di balik kamera depan telah menjangkiti generasi ini. Tidak hanya itu, maraknya fenomena ini telah mengacaukan tatanan kehidupan manusia dengan adanya pembentukan ulang pola pemikiran dan perilaku.
ADVERTISEMENT
Pembentukan ulang pola pikir manusia sangat berpengaruh dalam etika kesopanan, terlihat mereka lebih memilih bergoyang dibandingkan dengan membantu sesamanya. Keresahan yang dirasakan masyarakat pun sangat nyata sekali, pelaku lebih memilih untuk bergoyang di tempat umum. Rupanya gejala dari fenomena ini dapat menghilangkan rasa malu dan merendahkan harga diri.
Masyarakat pun bertanya-tanya atas penyebab dari maraknya fenomena ini, bahkan para ahli pun turut bingung dalam menjelaskannya kepada masyarakat. Perubahan tersebut telah memengaruhi sistem dan norma yang berlaku, mereka hanya bisa mengatakan bahwa akhir hayat dari dunia ini sudah dekat. Mereka hanya bisa berharap pada semesta yang bisa berkehendak atas dunia ini.
Lelah menanti harapan atas keajaiban dalam melawan fenomena ini, harapan yang pupus memaksakan untuk mundur lebih jauh lagi. Kita berada di dunia yang sedang terjangkit, putus asa sudah menyeluruh dalam pikiran. Separuh senja telah menantikan mukjizat, namun realita berkata lain. Masyarakat berlindung dalam goa yang penuh dengan kegelapan malam. Kegelapan memberikan kenyamanan untuk bersedih.
ADVERTISEMENT
Raut wajah yang termenung dalam kecemasan, tiada hari tanpa memikirkan tentang masa yang akan datang. Informasi yang bodong berdatangan layaknya lalat mencari makanan, sulit untuk dihindari dan bergerak dengan cepat. Impian yang meredakan rasa amarah kepada penguasa dalam penanganan fenomena ini, namun apalah daya hanya bisa menangis dalam keheningan.
Cahaya yang menyingsing tidak dapat mengubah situasi kali ini. Manusia hanya bisa berserah dan tenggelam dalam cahaya, kulit yang terbakar sinar matahari perlahan meredup. Kejenuhan meredupkan cahaya kebahagiaan manusia dalam menunggu hilangnya fenomena ini. Mau tidur pun tak bisa, hanya mengharapkan tindakan penguasa. Namun, penguasa lebih mementingkan nyawa perekonomian daripada nyawa rakyatnya.
Rakyat pun mengkritisi tindakan pemerintah dalam penanganan fenomena ini, lambat yang dirasakan tak mengubah apapun. Rakyat yang patah arah saat hasil belum menentu, tatapan kosong terlihat saat itu. Raut wajah yang mulai berkerut, alam dan bumi pun turut cemberut. Jakarta yang perlahan terhembus angin, karantina besar-besaran yang memaksa, menghentikan langkah pedagang asongan.
ADVERTISEMENT
Senjata biologis yang membunuh tak melihat kasta dan raga, perlahan masyarakat menyadari aplikasi ini sudah disusupi racun yang membunuh dengan memberikan efek adiksi. Mudahnya manusia untuk merasakan ketidakpuasan menciptakan kecanduan yang berbahaya, hanya menunggu ajal. Mencari cara untuk lepas dari kecanduan, tantangan pun datang tepat pada waktunya.
Hitamnya burung gagak mengawasi manusia, hanya menunggu giliran untuk memakan daging segar manusia. Roh kematian yang hadir dalam kehidupan tak memandang bulu dan arah, hanya tunjuk tinggal menuju neraka. Goyangan yang mematikan dari senjata biologis ciptaan penguasa tertinggi dunia, mengurangi populasi dunia merupakan cita-cita yang diinginkan.
Penuhnya bumi yang dikuasai oleh manusia secara perlahan akan menunggu ajal, kebingungan demi kebingungan manusia untuk mencari tempat menaruh kepala, penemuan yang menyangkal pernyataan orang lain pun dirasakan. Saling menyalahkan satu sama lain pun tertulis layaknya ayat-ayat dalam kitab suci, semua orang merasa benar. Kekejaman yang dibuat tak memandang ajaran agama.
ADVERTISEMENT
Ego yang dipertaruhkan saat menerima informasi dari surat kabar, kabar yang menjemukan menggelisahkan hati dan pikiran. Mereka terlalu hiperbola dalam menjelaskan informasi yang diberikan sehingga ketakutan pun mulai menguasai mereka. Kebohongan yang diberikan membuka ilusi dalam pemikiran masyarakat, masyarakat merasa dibutakan oleh ilusi penguasa dalam kekacauan dunia.
Pakaian yang ketat dengan alunan musik yang menggoda akan memperburuk keadaan ini. Pakar psikologis mengatakan bahwa fenomena ini sudah diperburuk oleh kemunculan alunan nada yang mampu menggoda masyarakat, bahkan kekacauan dunia pun tergambarkan oleh nada tersebut. Siulan burung sudah memperingatkan akan marabahaya di depan mata. Aplikasi yang disediakan dalam pasar elektronik pun diramaikan oleh masyarakat.
Perilaku penguasa media sosial terlihat menyemukan dalam akun media sosial untuk mengajak mengikuti protokol kesehatan demi mengurangi penularan fenomena ini. Kefanatikan manusia membawa mereka ke tempat yang lebih tinggi, bagai mendaki ke puncak tertinggi dengan bantuan alam semesta. Quote yang melukiskan tipu daya pun diyakini oleh masyarakat karena sudah dijadikan sebagai motivasi.
ADVERTISEMENT
Fenomena yang menjerumuskan manusia ke dalam lobang pencobaan, tak henti-hentinya untuk terus menular dengan cepat. Senandung ilahi yang menyuruh manusia untuk lebih sungguh-sungguh pun tak didengar, manusia menciptakan Maha Kuasa dari media sosial. Saat ini manusia sudah dekat dengan jurang kematian, membodohi diri sendiri pun merupakan hobi mereka.
Lucunya kelakuan penguasa dalam membentuk kebijakan yang selalu memberikan ambiguitas kepada masyarakat. Apabila masyarakat menjelaskan ambiguitas makna, maka mereka akan menghukum dan menyalahkan masyarakat. Enggan menerima saran dan menghukum yang mengkritik, itulah penguasa yang lucu. Rajin mengingatkan masyarakat, namun tidak membuka kesempatan untuk mengevaluasi mereka.
Blunder yang diakibatkan dari ambiguitas kebijakan pun dijadikan sebagai bahan candaan dalam media sosial. Mengingat keadilan berada di kaum elite, kaum jelata hanya merasakan imbasnya saja. Terdiam dalam bayangan penguasa yang kejam, tak kuasa menahan penderitaan dalam kesedihan yang menusuk hati dan paru-paru. Ingin rasanya untuk mati dalam jiwa ini, namun enggan rasanya untuk meninggalkan dunia terlalu cepat.
ADVERTISEMENT
Mengharapkan penemuan penawar dari fenomena merupakan doa semua orang yang ada di dunia ini. Usaha mereka terus berjalan demi mengharapkan kemurahan hati semesta, berserah dan merengkuh kepada Yang Maha Kuasa. Nyanyian kidung pujian pun bersuara sangat lantang dalam tempat mereka masing-masing, kerasnya suara yang dikeluarkan mereka pun terdengar dari kejauhan, demi menunggu kesembuhan dunia ini.