Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kematian Mitos: Awal Kehancuran Ekologi dan Bencana
14 Mei 2024 13:22 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Khairil Anwar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mitos merupakan cerita atau narasi tradisional yang diteruskan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Cerita ini menjelaskan asal-usul fenomena alam, kepercayaan budaya, atau kisah tentang dewa, makhluk supernatural, atau tokoh-tokoh legendaris. Mitos terdapat pada berbagai ranah kebudayaan dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Bukanlah sebagai keterangan faktual atau sejarah yang akurat, melainkan mitos sebagai media penyampaian nilai-nilai dan norma dalam sebuah budaya. Masyarakat tradisional mengganggapnya sebagai sebuah kebenaran.
Meskipun mitos berisi unsur-unsur yang tidak logis dan fantastis, namun membantu menyampaikan pemahaman manusia tentang dunia dan kehidupannya, seperti cerita tentang penciptaan dunia, petualangan nenek moyang, dewa-dewa, dan atau pahlawan, atau penjelasan tentang fenomena alam seperti gunung, danau, guntur, atau matahari dan bulan.
Cerita-cerita mitos ini memiliki akar sejarah yang kuat atau dekat dengan rasionalitas masyarakat tradisional. Mitos menjadi bagian penting dari warisan budaya dan pemahaman manusia tentang ekologi, yakni interaksi manusia dengan organisme dan lingkungannya, seperti tanah, air, udara, hutan, dan cahaya matahari serta ketersediaan nutrisi dan sumber energi.
Menurut Levis Strauss si penemu teori strukturalis, mitos merupakan cerminan dari struktur pikiran manusia yang bersifat universal, memiliki struktur bawaan yang terorganisasi secara sistematis, mirip dengan struktur bahasa. Struktur-struktur ini mencerminkan struktur yang mendasari pikiran manusia. Mitos tidak hanya berfungsi sebagai cerita naratif, tetapi juga sebagai sarana untuk menyatakan struktur kognitif dan nilai-nilai masyarakat.
ADVERTISEMENT
Lain halnya dengan Marvin Harrist pencetus teori materialisme budaya, mitos itu merupakan bagian dari faktor-faktor materi, seperti kebutuhan akan ekonomi, teknologi, dan lingkungan fisik. Materi dan faktor-faktor ekonomi berperan membentuk budaya manusia.
Misalnya, mitos tentang penciptaan dunia atau asal-usul spesies mengandung nilai-nilai atau norma-norma yang mendukung struktur sosial atau ekonomi tertentu. Mitos, merupakan bentuk adaptasi manusia terhadap lingkungan fisik dan kebutuhan ekonomi.
Di samping itu, memuat penjelasan tentang cara memanfaatkan sumber daya alam, teknologi pertanian, atau pola migrasi yang mungkin berkaitan dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan ekonomi.
Marvin Harrist memandang budaya sebagai produk interaksi kompleks antara manusia dan lingkungan. Dalam konteks ini, mitos menjadi cara untuk menyampaikan pengetahuan ekologi tentang lingkungan alam dan cara manusia beradaptasi dengan lingkungan yang berubah. Mitos tidak hanya dipahami sebagai cerita-cerita kosmogoni atau mitologi semata, tetapi juga sebagai produk dari kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan di mana mereka muncul.
ADVERTISEMENT
Mitos dan ekologi memiliki hubungan yang berkelindan. Cerita-cerita mitos mencerminkan cara manusia memahami dan berinteraksi dengan lingkungan alam. Pertama, mitos digunakan untuk menjelaskan fenomena alam yang tidak dapat dimengerti atau dijelaskan dengan pengetahuan ilmiah pada saat itu.
Seperti cerita-cerita tentang penciptaan dunia, asal-usul hewan, dan tumbuhan. Kedua, mitos berpesan tentang pentingnya menjaga keseimbangan alam dan menghormati lingkungan. Tindakan manusia yang tidak bijaksana dapat memiliki konsekuensi negatif terhadap ekosistem.
Ketiga, simbolisme alam dalam mitos menggambarkan konsep-konsep seperti kehidupan, kematian, pertumbuhan, dan perubahan. Seperti matahari yang sering kali digambarkan sebagai simbol kehidupan dan kekuatan dalam banyak mitologi. Keempat, mitos dipercayai dapat membantu memelihara lingkungan, seperti cerita-cerita tentang rimbo bunian atau batang aia larangan yang dapat mendorong praktik konservasi di antara masyarakat yang mempercayainya.
ADVERTISEMENT
Kelima, mitos memandu interaksi manusia dengan lingkungan alam yang dapat berdampak pada keseimbangan ekologis yang disebabkan oleh kegagalan manusia untuk menghormati alam. Seperti cerita malolo tentang bencana alam di Nagari Malalo di pinggir Danau Singkarak.
Dalam kehidupan modern yang serba logis saat ini mitos telah mati, dianggap kuno dan tak logis. Mati atau hilangnya mitos memiliki signifikansi pada kehancuran ekologi. Matinya mitos menjadi kausa hancurnya ekologi yang menjadi fakta empiris hari ini.
Pada akhirnya, berdampak vital, secara umum alam menjadi ancaman bagi manusia, yakni bencana alam. Seperti diingatkan dalam kitab suci Al Quran “kerusakan dan bencana di muka bumi terjadi karena perbuatan manusia” dan Ebiet G. Ade dalam lirik lagunya berpesan “Alam mulai bosan dengan tingkah laku kita”.
ADVERTISEMENT
Secara berurutan, matinya mitos berdampak pada kognitif masyarakat. Kehilangan pengetahuan tradisional tentang hubungan manusia dan alam, beragam cara pandang terhadap lingkungan, dan serta cara memelihara dan menjaga keseimbangan ekologis. Hal itu menurunkan kesadaran akan lingkungan, nilai-nilai konservasi, dan penghormatan terhadap alam. Menurunnya kesadaran karena cerita-cerita mitos tersebut tidak lagi menginspirasi perilaku pro-lingkungan.
Selanjutnya, praktik budaya yang mendukung keberlanjutan ekologi, seperti ritual konservasi atau penghormatan terhadap sumber daya alam tertentu itu pun hilang dan berdampak negatif pada ekosistem yang terkait. Mengakibatkan putusnya hubungan emosional dan keterlibatan manusia dengan alam, yang pada gilirannya pupusnya dorongan untuk melindungi dan memelihara lingkungan.
Akhirnya, matinya mitos menjadi puncak potensi peningkatan kerusakan dan bencana lingkungan, seperti yang kejadian terkini di Sumatera Barat. Manusia tidak lagi takut dan patuh terhadap norma-norma yang disampaikan dalam cerita mitos rimbo larangan atau rimbo bunian tentang kawasan ekologi di sekeliling kaki dan pinggang Gunung Merapi dan Singgalang.
ADVERTISEMENT
Kawasan itu dijaga dengan norma itu karena terdapat di dalamnya sumber protein, energi, papan, dan plasma nutfah yang berguna bagi kelansungan kehidupan manusia di sekitarnya. Pemanfaatan kawasan itu diatur dengan regulasi tradisional itu yang ramah lingkungan sehingga hutan menjadi lestari. Pohon-pohon tumbuh besar menjulang dengan akar-akar menancap ke bumi yang berfungsi menyerap air hujan dan mengunci tanah-tanah berkontur miring dan terjal.
Apa yang terjadi saat ini? Kawasan itu telah deforestasi, hutan berubah fungsi menjadi kawasan pertanian palawija. Pohon-pohon besar ditebangi untuk membuka lahan dan dianggap mengganggu tanaman mereka. Akibatnya tidak ada lagi akar-akar pohon yang menjadi resapan air ketika hujan datang, apalagi dengan curah yang tinggi dan berhari-hari. Kayu-kayu hasil tebangan itu dibuang ke lurah-lurah yang mengalir air resapan sekitar lahan tersebut, karena jika dibawa ke kota tidak ada surat-suratnya, tantangannya terali besi. Hal itu, secara pelahan dan lama lurah-lurah itu otomatis menjadi cek dam tanpa dam.
ADVERTISEMENT
Ketika air sudah tergenang cukup lama dam kayu dan sampah daunan menjadi lapuk. Saat curah hujan yang tinggi lurah-lurah yang terhampang kayu itu jebol. Inilah air bah yang merusak infrastruktur yang dibangun dengan anggaran dana yang besar, menghancurkan harta benda dan merengut jiwa penduduk yang bermukim dan atau yang berada di bawahnya.
Potongan-potongan pohon kayu besar dari lurah-lurah di pinggang gunung itu hanyut dan terhampar di area-area banjir bandang. Hal itu menjadi bukti kuat dari perbuatan deforestasi, perbuatan manusia yang menafikan mitos yang menjadi kekuatan spritual dalam penghormatan dan pelestarian lingkungan. Kematian mitos itu menjadi awal kehancuran ekologi dan bencana bagi kehidupan manusia.
Dengan demikian, mitos bukanlah sekedar cerita-cerita fantastis belaka yang tak logis, tetapi telah membentuk pikiran masyarakat tradisional tentang cara pandang manusia terhadap alam. Pemahaman tentang mitos telah memengaruhi sikap dan perilaku mereka terhadap lingkungan.
ADVERTISEMENT
Dalam rangka menyelenggarakan ‘jenazah’ mitos itu, maka dalam konteks ini, revitalisasi mitos berupa pendokumentasian, pengkajian, dan pemanfaatan dan atau pengaplikasian nilai-nilainya dalam masyarakat menjadi penting. Di samping itu, untuk menjaga warisan budaya yang berharga dan mempromosikan pemahaman bermakna tentang hubungan manusia dengan alam.
Oleh karena ancaman bencana alam itu senantiasa potensil maka norma-norma dan regulasi-regulasi turunan dari nilai-nilai dalam mitos itu dan sosialisasi pada tingkat akar rumput seperti kelompok tani hutan sosial, nagari, dan desa menjadi penting dan mendesak saat ini. Kebijakan pemerintah pun tentang lingkungan yang berbasis nilai-nilai mitos itu menjadi kekuatan yang mengakar pada masyarakat. Akhirnya, harapan besar agar menjadi inspirasi bagi terciptanya perilaku green moral dalam pengelolaan ekologi demi masa depan manusia dan bumi.
ADVERTISEMENT