Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Batas Sumir Kriminologi dan Hukum Pidana yang Penting Diketahui oleh Mahasiswa
9 April 2025 9:14 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Khairil Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Setiap kali menjadi penguji skripsi, kesalahan fatal mahasiswa hukum yang acap kali muncul dengan pola dan kesalahan yang sama adalah anggapan bahwa kriminologi merupakan bagian dari hukum pidana. Artikel ini akan menjelaskan mengapa anggapan semacam itu dipandang keliru dan berdampak pada hasil pencarian yang tidak berujung pada "kebenaran".
ADVERTISEMENT
Banyaknya penelitian di bidang kriminologi yang dianggap sebagai penelitian hukum ini sampai pada titik yang tidak bisa ditoleransi lagi. Pertanyaan yang diajukan saja sudah menjurus ke kriminologi, tapi karena masih seputar kejahatan, mahasiswa malah menganggapnya sebagai bagian dari hukum pidana. Akhirnya saya berpikir, pantas saja di luar sana ada yang mengira bahwa skripsi anak hukum itu hanyalah karangan bebas belaka; tidak ada kebenarannya.
Kesalahan persepsi ini tidak dapat sekadar disikapi layaknya perbedaan pendapat dalam masalah hukum. Mahasiswa tidak sekadar membatin, “Ada kok dosen/ ahli hukum lain yang berpendapat sebaliknya". Mestinya, jika menganggap kriminologi adalah hukum pidana, mereka justru membantah, bukan malah menghindari konfrontasi hanya karena khawatir dianggap tidak sopan.
Ketika kesalahan ini saya utarakan dalam beberapa sidang, memang ada dosen yang mengabaikan kritik saya. Meski begitu, sejunlah dosen lainnya terlihat mendukung sambil mempertanyakan, siapa dosen metode penelitian hukum si mahasiswa? Saya setuju bahwa pengetahuan metode penelitian hukum mahasiswa memang sangat lemah, tapi rasanya ada masalah lain yang tidak boleh dianggap enteng.
Seyogyanya mahasiswa memang harus mengerti apa itu penelitian hukum dan bagaimana melakukannya. Tapi, kenapa tidak ke pertanyaan yang paling dasar, apakah mereka sudah benar-benar tahu apa itu hukum? Kalau ternyata pengertian hukum saja mahasiswa tidak tahu, rasanya pengetahuan tentang metode penelitian hukum mustahil didapat.
ADVERTISEMENT
Sebagai tahap awal, mahasiswa harus paham bahwa penelitian hukum itu adalah penelitian dalam ilmu hukum. Dengan begitu, yang mesti dikuatkan terlebih dahulu adalah pengetahuan hukum dan ilmu hukum mahasiswa itu sendiri. Saya justru menduga bahwa mahasiswa lemah dalam memahami apa itu hukum dan inilah yang saya sebut sebagai masalah yang tidak bisa dianggap enteng.
Dosen tidak boleh berpuas hati dengan mengatakan, “Mahasiswa tahu apa itu hukum, tapi sulit menjelaskannya”. Kenyataan bahwa mereka tidak bisa membedakan kriminologi dengan hukum pidana dalam tugas akhirnya menurut saya justru membuktikan ketidaktahuan mereka, atau setidaknya masih terdapat keraguan dan kebingungan di benak mahasiswa, apakah hukum pidana sama dengan kriminologi yang selama ini juga dipelajari?
ADVERTISEMENT
Dari istilahnya saja, kriminologi justru menunjukkan satu disiplin ilmu tersendiri dan bukan bagian dari hukum pidana. Objek dan cara kerja kedua ilmu ini jelas berbeda. Memang, keduanya akan bertemu pada “kejahatan”, namun cara kedua ilmu ini melihat kejahatan tentu berbeda. Kriminologi menjadikan kejahatan sebagai objek, sementara hukum pidana objeknya adalah aturan yang memidana kejahatan itu sendiri.
Sederhananya, jika kejahatan itu hadir dalam bentuk penyimpangan moral semata, maka kriminologi mengkajinya sedangkan hukum pidana, tidak. Hukum pidana baru mendiskusikannya jika penyimpangan itu diatur oleh hukum, terlepas dari konsep hukum yang dianut. Masalahnya, kekaburan ini kian diperparah dengan pemahaman bahwa penyimpangan adalah hukum dalam realitasnya (law in action) sementara hukum di ruang idealitas disebut sebagai law in the book.
ADVERTISEMENT
Kriminologi mengkaji mengapa kejahatan dilakukan, baik oleh individu maupun kelompok, bahkan korporasi. Pertanyaan itu tidak mungkin bisa dijawab berdasarkan aturan dalam hukum pidana. Hukum pidana hanya melihat apakah suatu perbuatan itu merupakan larangan atau perbuatan yang dapat dipidana, atau sebatas perbuatan yang mungkin memiliki konsekuensi namun bukan sanksi pidana.
Jadi, sekalipun mahasiswa menjadikan putusan pengadilan sebagai objek bahasannya, namun jika pertanyaan yang diajukan mengapa dalam perkara tersebut pelaku melakukan kejahatannya, maka jawabannya hanya bisa digali dari pelakunya, bukan dari norma hukum yang mengatur kejahatan tersebut.
Tidak hanya alasan melakukan kejahatan, bagaimana pola suatu kejahatan, dampak, dan respon masyarakat juga dibahas dalam kriminologi, tapi tidak dalam hukum pidana. Meski begitu, kriminologi tentu sangat dibutuhkan dalam hukum pidana. Hal ini tetap saja tidak serta merta menjadikannya sebagai bagian dari hukum pidana.
ADVERTISEMENT
Penjelasan kriminologi sangat bermanfaat untuk menentukan layak tidaknya suatu perbuatan dijadikan tindak pidana (kriminalisasi), bahkan menentukan pula seimbang tidaknya hukuman yang dijatuhkan dengan kejahatan yang dilakukan. Dari ilmu inilah kemudian kita mengenal satu prinsip proporsionalitas yang menjelaskan bahwa sanksi pidana harus sesuai dengan tingkat kejahatan (istilah fikihnya: "al-‘uqubatu ma’a jarimatihi").
Besar dugaan bahwa saking penting dan berpengaruhnya kriminologi terhadap hukum pidana, dan memang karena banyak orang hukum pidana yang tertarik mempelajari kriminologi sampai membuat mereka salah sangka dengan mengira kriminologi sebagai bagian dari hukum pidana—tentu tidak dalam kacamata inter atau multi-disipliner yang belakangan kian diminati.
Sampai di sini sebenarnya masih terdapat sedikit pemakluman. Tapi, terdapat kesamaan pola dalam kesalahan skripsi mahasiswa, bahwa mereka cenderung mengambil model skripsi semacam ini karena enggan dengan penelitian hukum normatif yang mereka pahami sebagai penelitian yang mengharuskan tingkat analisis dan bacaan yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, ketika ada yang beranjak ke penelitian sosio-legal karena menganggap penelitian hukum normatif terlalu kering, pengalaman saya justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Saya mendapati banyak penelitian kriminologi—yang secara metode mereka masukkan ke dalam penelitian sosio-legal—dilakukan karena takut ditanya lebih dalam, khususnya pertanyaan yang menjurus pada bacaan dan pengetahuan hukum yang mereka miliki.
Dengan penelitian sosio-legal, nyatanya mahasiswa menganggap tugas mereka cukup memparafrasakan, bahkan sekadar salin-tempel jawaban responden tanpa perlu menganalisisnya lebih lanjut. Jika pun mereka menyebutnya parafrasa itu sebagai analisis, tentu analisis mereka sebatas mendeskripsikan. Sedangkan penelitian hukum mengharuskan mahasiswa menjelaskan apa hukumnya (preskirpsi); setingkat lebih tinggi dari sekadar menggambarkan.
Kekeliruan dalam memahami hubungan kriminologi dengan hukum pidana ini berdampak pada kesalahan metodologis. Kesalahan metodologis jadi berdampak pada hasil penelitian; bukannya mendapat kebenaran, hasilnya malah terjebak pada cara penyimpulan. Ketika penyimpulannya sulit dilakukan, maka penelitian malah menjadi suatu mekanisme pembenaran; bukan proses mencari kebenaran.
ADVERTISEMENT
Bisa dibayangkan, penelitian dengan judul tindak pidana perjudian di Kabupaten A (misalnya) dan pertanyaan mengapa perjudian dilakukan di Kabupaten A, dijawab dengan satu dua kasus atau beberapa responden yang sama sekali bukan representasi dari populasi? Kadang-kadang (iseng), dengan alur berpikir mahasiswa saya bertanya, "Bagaimana anda bisa sampai pada kesimpulan itu? Apakah tidak ada orang yang berjudi dengan alasan lain?".
Akhirnya mahasiswa terjebak dalam kesesatan berpikirnya sendiri. Belum lagi ketika mereka dibawa ke jalur yang sebenarnya, yaitu penelitian hukum. Klasifikasi data yang membuat mereka menempatkan bahan hukum sebagai data sekunder membuat saya semakin yakin bahwa terjadi kesesatan dalam berpikir hukum mahasiswa.
Benar saja, batas sumir kriminologi dan hukum pidana pada gilirannya akan menempatkan bahan hukum di bawah keterangan responden yang notabenenya adalah data primer. “Kalau seandainya responden menjawab bahwa dirinya tidak seharusnya dihukum, apakah itu artinya jawabannya lebih diutamakan dibanding undang-undang?” tanya saya menguji suatu ketika. Biasanya, pertanyaan ini membuat mereka memilih bergeming sebagai jurus untuk mendapat simpati, bahkan belas kasih.
ADVERTISEMENT
Di televisi dan media nasional, batas sumir itu bahkan dipertontonkan tanpa ada yang mengoreksinya. Oleh mereka yang mengaku sebagai ahli hukum, terkadang argumennya jauh sekali dari hukum. Mereka bahkan kerap berbicara layaknya pakar kriminologi atau cabang-cabang ilmunya. Mungkin dia juga paham, tapi masalahnya bukan sebagai kriminolog ia diundang.
Suatu ketika, bahkan berkali-kali disampaikannya, seorang Profesor hukum pidana dari kampus ternama dengan percaya diri mengatakan, "Melihat respon mahasiswa ketika saya bertanya 'siapa yang mengambil pulpen saya', lalu ada yang jawab, 'bukan saya, pak', saya langsung tahu dialah orangnya." Ucapannya mungkin benar, tapi itu bukan tugas hukum pidana.