Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Antara Prerogatif dan Etika: Gugatan Pada Presiden dalam Kasus Mendes Yandri
18 April 2025 16:36 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Khairul Fahmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Gugatan yang dilayangkan Lokataru Foundation ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terhadap Presiden Prabowo Subianto menambah dinamika baru dalam diskursus relasi antara hukum dan kekuasaan eksekutif. Mereka menilai Presiden melakukan pembiaran dengan tidak memberhentikan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto, pasca putusan Mahkamah Konstitusi dalam sengketa Pilkada Kabupaten Serang yang menyebut keterlibatannya dalam pelanggaran netralitas.
ADVERTISEMENT
Gugatan ini menarik perhatian publik, namun juga membuka ruang diskusi penting: apakah keputusan Presiden yang tidak serta-merta memecat seorang menteri bisa dikualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum?
Prerogatif dalam Sistem Presidensial
Dalam sistem presidensial yang dianut Indonesia, Presiden memiliki wewenang penuh untuk mengangkat dan memberhentikan para pembantunya, termasuk menteri. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 17 UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam teori kekuasaan eksekutif sebagaimana dirumuskan oleh Dwight Waldo dan Jimly Asshiddiqie. Kekuasaan ini bersifat diskresioner—artinya, Presiden berhak menimbang dan memilih langkah yang dianggap terbaik secara politis dan administratif.
Presiden tentu tak bertindak dalam kekosongan etika atau hukum. Tapi, dalam ranah pengambilan keputusan seperti ini, tidak ada kewajiban hukum yang eksplisit yang dilanggar ketika seorang menteri tidak langsung diberhentikan, apalagi jika belum ada sanksi etik dari lembaga berwenang atau putusan pengadilan pidana.
ADVERTISEMENT
Putusan MK Bukan Putusan Etik atau Administratif
Penting untuk dipahami bahwa putusan Mahkamah Konstitusi dalam konteks Pilkada bersifat final dan mengikat dalam hal menentukan hasil pemilu. Dalam kasus Kabupaten Serang, MK menyatakan bahwa istri Yandri Susanto diuntungkan oleh dukungan yang didorong melalui aparat desa, dan hal itu mempengaruhi hasil pemilu. Namun, amar putusan tersebut tidak memuat perintah langsung kepada Presiden untuk memecat Yandri dari jabatannya.
Sebagaimana dikemukakan pakar hukum tata negara yang juga Wakil Ketua MK Saldi Isra, putusan MK dalam sengketa pilkada tidak dapat serta-merta dijadikan sebagai dasar administratif untuk memberhentikan seorang pejabat negara yang tidak menjadi pihak langsung dalam perkara tersebut.
Dalam kerangka ini, Presiden Prabowo masih berhak untuk mengevaluasi secara internal, meminta klarifikasi, dan mempertimbangkan aspek lainnya—termasuk stabilitas kabinet dan azas praduga tak bersalah—sebelum mengambil keputusan final.
ADVERTISEMENT
Dimensi Hukum Administrasi: Onrechtmatige Overheidsdaad?
Gugatan Lokataru ke PTUN pada dasarnya mendasarkan diri pada dalil bahwa Presiden melakukan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad). Namun, sebagaimana diajarkan oleh Van Vollenhoven, Utrecht, dan Ridwan HR, untuk suatu tindakan pejabat dikategorikan sebagai onrechtmatige, harus ada unsur pelanggaran terhadap norma hukum yang berlaku, tindakan nyata, dan kerugian yang dapat dibuktikan.
Dalam kasus ini, ketiadaan tindakan Presiden untuk memberhentikan menteri tidak serta-merta melanggar norma hukum positif. Tak ada ketentuan undang-undang yang secara eksplisit mewajibkan Presiden untuk mencopot seorang menteri hanya karena ada catatan negatif dalam putusan MK. Ini membuat gugatan tersebut lemah secara doktrinal.
Etika Pemerintahan dan Langkah Proporsional
Meski demikian, kritik terhadap lambatnya evaluasi tetap patut dipertimbangkan. Pemerintahan yang baik dan berintegritas memang menuntut pejabat publik menjunjung tinggi etika dan netralitas. Presiden Prabowo, sebagai pemimpin baru dengan komitmen terhadap reformasi birokrasi, tentu tidak menutup mata. Namun, setiap keputusan administratif harus pula mematuhi asas kepatutan dan proporsionalitas, bukan hanya reaktif terhadap tekanan publik.
ADVERTISEMENT
Pemberhentian menteri bukan semata perkara teknis, tetapi proses politik dan hukum yang menyatu dalam kebijakan negara. Tindakan itu harus dilakukan pada waktu dan cara yang tepat, dengan dasar yang kokoh, agar tidak menimbulkan preseden buruk dalam praktik tata negara.
Menjaga Marwah Hukum dan Kewibawaan Negara
Kritik dan gugatan sah-sah saja dalam negara demokratis. Namun dalam menilai kebijakan Presiden, kita juga perlu melihat bingkai hukum dan konstitusi secara utuh. Memberhentikan seorang menteri bukan sekadar reaksi hukum, tapi juga pertimbangan kebijaksanaan dan stabilitas pemerintahan.
Presiden Prabowo tentu tidak anti-kritik. Namun dalam mengambil keputusan, ia juga berhak atas ruang diskresi. Yang terpenting, proses evaluasi terus berjalan, dan prinsip good governance tetap dijaga.
*) Khairul Fahmi, Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)
ADVERTISEMENT