Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Intuisi dan Keadilan
3 Januari 2022 13:24 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Khairul Siregar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Makna keadilan tentu hanya akan dapat diartikan bagi korban dalam kasus atau perkara tertentu. Begitu juga dengan pelaku. Ungkapan ini setidaknya mengartikan bahwa adil menjadi konteks pemenuhan hak yang tidak memihak.
ADVERTISEMENT
Mengutip ungkapan Blaise 'Keadilan tanpa kekuatan tidak berdaya'. Bagi masyarakat yang tengah mencari keadilan, peran seorang pengacara tentu bisa menjadi 'kekuatan' yang bisa mencapai pada keadilan sesungguhnya seperti apa yang dimaksud pada ungkapan di atas.
Selain menjadi pendamping hukum, advokat tentu akan dapat mengawal seluruh proses hukum pada jalur dan koridor yang seharusnya agar tidak mencapai pada 'kekuatan tanpa keadilan yang menjadi tirani'. Tirani sendiri dapat diartikan kekuatan yang sewenang-wenang.
Menjadi pengacara juga dituntut agar tidak semata-mata hanya mementingkan urusan royalti semata karena sudah berpraktik memberikan jasa hukum. Tentu ada gubahan rasa yang harus diutamakan yakni ialah nurani. Nurani ini akan sangat erat hubungannya dengan pencapaian keadilan.
Pergumulan batin yang hebat ini, setidaknya pernah dirasakan Agus Rosita. Sebagai pengacara yang sudah malang-melintang di dunia hukum sejak tahun 1997 silam, ia pernah dihadapkan pada situasi yang memaksanya untuk terus memahami hakikat hukum untuk keadilan.
ADVERTISEMENT
Dalam satu kasus, ia pernah diminta untuk mendampingi seorang pelaku pencabulan. Di satu sisi, jika mengikuti nurani, apa yang mesti dia lakukan dalam kasus ini sangat bertentangan dengan urusan naluri sebagai seorang perempuan.
"Korban adalah seorang anak perempuan. Di sini bertentangan dengan hati nurani. Di satu sisi kita membela kepentingan perempuan dan anak. Sementara pelaku juga tetap harus dilindungi dan didampingi hak-haknya, meskipun bersalah," katanya.
Baginya, makna adil begitu relatif. Pada kasus ini contohnya. Pemenuhan hak terhadap tersangka seperti pendampingan hukum tetap harus dipenuhi. Artinya, hukum harus bersifat memberikan efek jera.
"Intinya, hukuman yang berat bukan berarti adil. Hukuman itu bersifat memberikan pelajaran agar tidak mengulangi perbuatannya," jelas pengacara lulusan S1 Universitas Muhammadiyah Palembang tahun 1993 itu.
ADVERTISEMENT
Perasaan gusar menyelimutinya kala itu. Namun ia justru harus profesional menjalankan apa yang menjadi tugasnya sebagai 'pengawal proses hukum'. Belum lagi, ia harus berupaya meredam hati orang tua korban dalam kasus ini.
"Saya terus meredam pihak keluarga karena ini sudah aturan hukum. Jika saya tidak mendampingi tersangka maka dilimpahkan ke Jaksa, ke persidangan, maka tersangka ini akan bebas, karena formilnya sudah cacat," terangnya.
Bersifat profesional, baginya menjadi langkah tepat memecah kegaduhan di hatinya. Itu semata-mata dilakukan bukan hanya untuk memenangkan kasus demi popularitas sebagai pengacara.
Anggapannya sederhana, bahwa kemenangan tidak diukur dengan salah atau tidaknya seseorang tapi dari sejauh mana kepentingan hukum seseorang dapat dilindungi dan dipenuhi.
Kemenangan ini tentu bukan hanya semata-mata yang 'dipertuan besarkan'. Karena menjadi pengacara juga diikat dengan etika-etika profesi. Dengan begitu Kode Etik Advokat menjadi hukum tertinggi dalam menjalankan profesi.
ADVERTISEMENT
"Jasa pengacara ini sama ibaratnya seorang dokter. Negosiasi kami dengan klien tidak ada batasannya. Karena ini dalam konteks menjual jasa," terangnya.
Korelasinya juga pada Hak retensi Advokat terhadap klien yang diakui sepanjang tidak akan menimbulkan kerugian kepentingan klien.
Setiap pengacara dibebankan agar dapat berperilaku jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara atau masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri.
PERADI Sebagai Wadah Berprofesi Advokat
Jika diibaratkan sebuah pertandingan tinju. Harus dilakukan di atas ring atau arena resmi yang memenuhi aturan dari unsur-unsur mengikat.
Konklusi ini sama halnya dengan apabila berpraktik hukum sebagai seorang pengacara. Peran Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) sebagai wadah bagi para pengacara begitu sentral yang juga memiliki etika dalam berprofesi.
ADVERTISEMENT
Sejarah terbentuknya organisasi PERADI mempunyai catatan dan dinamika yang cukup panjang. PERADI sendiri mulai diperkenalkan pada 7 April 2005.
Dalam Pasal 32 ayat (3) UU Advokat menyatakan bahwa untuk sementara tugas dan wewenang Organisasi Advokat dijalankan bersama-sama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).
Seluruh organisasi tersebut pada 16 Juni 2003, setuju memakai nama Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI). Sebelum pada akhirnya sepakat membentuk PERADI, KKAI telah menyelesaikan sejumlah persiapan. Pertama yaitu melakukan verifikasi untuk memastikan nama dan jumlah advokat yang masih aktif di Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Pemutihan di 2002-2003, dari delapan asosiasi advokat dan digabung menjadi PERADI," kata Rosita mengisahkan.
Dalam prosesnya, di tubuh PERADI beberapa kali mengalami gonjang-ganjing
"Di tubuh PERADI pernah kembali pecah, sehingga menjadi tiga bagian meski satu di dalam organisasi. Sekarang putusan MA, PERADI yang diakui adalah yang diketuai oleh Prof, Dr. Otto Hasibuan (Single Bar)," tutupnya.