Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sexiest Jokes: Bukan Sekadar Lelucon Biasa
19 Desember 2023 14:31 WIB
Tulisan dari Mohamad Rajendra Khalfani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kamu pasti pernah atau sering mendengar ungkapan “Ada yang menonjol, tapi bukan tekad” atau “Ada yang besar, tapi bukan harapan” baik secara langsung di kehidupan sehari-hari maupun di media sosial, kan? Atau jangan-jangan kamu termasuk salah satu orang yang pernah menggunakan ungkapan tersebut ketika bercanda? Penting untuk kita ketahui, candaan atau lelucon seperti itu ternyata merupakan bentuk dari sexist jokes. Lelucon ini juga bisa menimbulkan beberapa dampak negatif seperti gangguan mental bagi korban. Serem, kan? Sebenarnya apa sih itu sexist jokes? Artikel ini bertujuan untuk mengenalkan apa itu sexist jokes, mengapa bisa terjadi, dampak apa saja yang ditimbulkan, dan langkah-langkah apa saja yang bisa kita lakukan untuk menghadapi fenomena ini. Simak penjelasan berikut.
ADVERTISEMENT
Sexist jokes atau lelucon seksis adalah jenis humor yang menargetkan dan meremehkan jenis kelamin tertentu, biasanya perempuan. Akan tetapi, bukan berarti laki-laki tidak bisa menjadi korban lelucon seksis. Sebagai contoh, banyak kita jumpai di kolom komentar akun media sosial seorang laki-laki—yang dianggap tampan—ungkapan seperti “Rahimku anget, Mas”. Ungkapan ini juga merupakan salah satu bentuk lelucon seksis. Pada intinya, lelucon seksis merupakan candaan, hinaan, atau pelecehan yang mengarah pada seksisme, yang juga dapat merugikan salah satu gender atau jenis kelamin tertentu.
Kenapa fenomena ini bisa terjadi? Apa yang melatarbelakangi lelucon seksis? Mari kita kupas tuntas satu per satu. Alasan pertama yaitu karena humor berbau seks ini terkesan lebih menjual, lebih dapat diterima. Humor berbau politik atau pendidikan belum tentu bisa diterima oleh semua kalangan, sementara seks merupakan hal yang dapat dirasakan dan melekat pada diri setiap individu. Ditambah lagi, di negara kita—Indonesia—ini, seks masih menjadi hal yang tabu untuk diperbincangkan. Inilah yang kemudian membuat lelucon seksis makin merakyat, karena ketika disinggung sedikit saja akan lebih mudah untuk ditertawakan.
Alasan selanjutnya yakni privilege. Maksudnya gimana tuh? Menjadi laki-laki di Indonesia dianggap sebagai sebuah privilege, banyak laki-laki yang merasa “gue cowok, gue punya power”. Sehingga, lelucon seksis kebanyakan dilakukan oleh laki-laki dan apabila ada seorang perempuan yang menolak atau tidak setuju dengan humor tersebut maka akan dicap baperan dan tidak bisa diajak bercanda. Salah satu penjelasannya adalah teori pembebasan kegembiraan superioritas. Teori psikologi ini mengusulkan bahwa gelak tawa timbul dari perasaan superioritas seseorang atas penderitaan orang lain. Dengan kata lain, menertawakan orang lain memberi kesenangan karena rasa superior (Morreall, 2009).
ADVERTISEMENT
Di dunia patriarki seperti di Indonesia, perempuan dianggap sebagai sosok yang lemah, entah karena badannya yang kecil atau karena suaranya yang pelan. Asumsi tersebut mengakibatkan tertanamnya doktrin di alam bawah sadar masyarakat bahwa perempuan memanglah sosok yang lemah sehingga timbul lelucon seksis seperti “Jangan lama geraknya, jangan kayak cewek” atau “Masa gitu doang nangis, kayak cewek aja”. Hal ini turut menjadi salah satu alasan yang melatarbelakangi terjadinya lelucon seksis di Indonesia.
Menurut penelitian, paparan terhadap lelucon seksis dapat mengubah sikap dan kepercayaan orang tentang jenis kelamin dan memperkuat prasangka (Ford dkk., 2008). Misalnya, laki-laki yang terpapar pada lelucon seksis cenderung memiliki toleransi yang lebih besar terhadap pelecehan seksual dan perilaku tidak pantas terhadap perempuan. Mirisnya, banyak generasi muda yang melakukan lelucon seksis hanya agar bisa diterima di circle pertemanan yang diinginkan, supaya terlihat humoris dan tidak kaku. Tentu saja kurangnya edukasi dan pemahaman terkait seksisme menjadi salah satu faktor utama fenomena lelucon seksis ini masih terjadi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kira-kira apa saja dampak yang ditimbulkan akibat lelucon seksis? Jika lelucon seksis ini terus dinormalisasikan, maka para pelaku tidak akan merasa bahwa perilakunya itu salah dan bisa merugikan orang lain. Pada akhirnya, masyarakat akan ikut memihak pelaku dan malah korban yang disalahkan dengan dalih baperan. Hal ini kemudian bisa menyebabkan terganggunya mental si korban, seperti timbulnya perasaan tidak percaya diri, tidak nyaman, dan tidak aman ketika bersosialisasi dengan teman-temannya.
Lalu, bagaimana cara menyikapi lelucon seksis? Adakah solusi yang bisa kita lakukan ketika menghadapinya? Tentu saja ada. Sebagai generasi muda, ketika kita atau teman kita mengalami lelucon seksis sebaiknya jangan langsung menghakimi pelaku. Akan tetapi, kita bisa mengabaikan atau menunjukkan ekspresi tidak setuju dengan candaannya. Tujuannya agar si pelaku merasa gagal dalam melucu, karena jika lelucon seksisnya ditertawakan itu malah akan membuat si pelaku merasa sukses melucu dan berpotensi untuk mengulanginya. Apabila teman kita korbannya, maka kita bisa menanyakan bagaimana keadaannya dan menawarkan diri untuk mendengarkan perasaannya. Setelah kejadiannya berlalu, kita bisa menemui si pelaku untuk berbicara dan menasihati bahwa lelucon seksis seperti yang dilakukannya itu tidak baik dan bisa merugikan orang lain.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kita juga bisa mengedukasi kepada teman-teman sebaya kita bahwa melucu tidak harus dengan lelucon seksis. Perlu digarisbawahi bahwa meskipun sesuatu dianggap lucu, bukan berarti hal itu dapat diterima secara etika. Menertawakan penderitaan orang lain adalah bentuk kesenangan yang kejam, terutama jika dilakukan oleh kelompok berkuasa kepada kelompok rentan. Meskipun beberapa orang berpendapat bahwa lelucon seksis tidak berbahaya karena “itu hanya lelucon”, penelitian menunjukkan dampaknya cukup signifikan. Bahkan, sebuah analisis dengan 16.000 partisipan di 24 negara menemukan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara toleransi terhadap lelucon seksis dengan kesediaan orang untuk melakukan pelecehan seksual (Romero-Sánchez dkk., 2020).
Daftar bacaan
Morreall, J. (2009). Comic relief: A comprehensive philosophy of humor. John Wiley & Sons.
ADVERTISEMENT
Ford, T.E., Boxer, C.F., Armstrong, J., & Edel, J.R. (2008). More Than “Just a Joke”: The Prejudice-Releasing Function of Sexist Humor. Personality and Social Psychology Bulletin, 34(2), 159–170.
Romero-Sánchez, M., Krahé, B., Moya, M., & Megías, J. L. (2020). Sexist humour and rape proclivity: The moderating role of joke teller gender and severity of sexual assault. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(16), 5949.