Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kritik Pemikiran Ibnu Khaldun: Kemiskinan Hadis dan Kelompok Rasional di Irak
23 Mei 2024 13:40 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muhammad Husein Fadhlillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ibnu Khaldun , seorang cendekiawan Muslim abad ke-14, kita kenal karena pemikiran dan kritiknya yang mendalam terhadap berbagai aspek kehidupan seperti aspek sosial, politik, sejarah dan ekonomi. Meskipun Ibnu Khaldun adalah seorang cendekiawan yang dihormati dengan wawasan yang mendalam, terdapat pandangan yang tidak sependapat dengan pendapatnya mengenai salah satu penyebab munculnya kelompok rasional (Madrasah al-Ra’yi) di Irak dan kelompok hadis (Madrasah al-Hadits) di Madinah adalah bahwa warga Irak pada zamannya miskin hadis. Seperti pendapat Pak Kiai Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya yang berjudul “Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam” misalnya.
ADVERTISEMENT
Penulis ingin mengkritisi argumen Ibnu Khaldun dengan menggunakan pendapat Pak Kiai Ali yang ingin meluruskan pandangan Ibnu Khaldun, dengan fokus pada konteks sejarah, politik dan sosial yang melatarbelakangi pandangan tersebut. Melalui analisis yang cermat, akan kami jabarkan alasan-alasan yang mempertanyakan keabsahan klaim Ibnu Khaldun, serta implikasi pentingnya dalam memahami dinamika masyarakat Irak pada masa itu.
Pemikiran Ibnu Khaldun; Irak Miskin Hadis
Keterangan yang menyebutkan bahwa warga Irak dinilai miskin hadis, di mana hal itu kemudian dijadikan oleh pakar hukum Islam sebagai salah satu penyebab munculnya Madrasah al-Ra’yi di Irak, tampaknya perlu diluruskan kembali. Keterangan itu antara lain datang dari Ibnu Khaldun. Beliau menuturkan bahwa
warga Hijaz lebih banyak meriwayatkan hadis daripada warga Irak, karena Madinah adalah Dar al-Hijrah dan tempat tinggal para sahabat. Sementara para sahabat yang pindah ke Irak lebih banyak disibukkan dengan jihad (perang). Pernyataan Ibnu Khaldun tersebut perlu diluruskan, karena alasan-alasan sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Keberadaan Sahabat di Irak Bukan untuk Bertempur
Para mu’arrikhin (sejarawan) mencatat bahwa jumlah sahabat yang tinggal di Irak (Kufah dan Bashrah) banyak sekali. Seperti diketahui, pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab terjadi penyebaran para sahabat secara besar-besaran. Ahli tarikh Ibnu Sa’ad (w 230 H) menuturkan bahwa sahabat Nabi Muhammad yang tinggal di Kufah tidak kurang dari 370 orang. Tokoh-tokoh mereka antara lain Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqqqash, Abdullah bin Mas’ud, Ammar bin Yahya, Hudzaifah bin al-Yaman, Abu Musa al- Asy’ari, Salman al-Farisi, al-Bara bin Azib, dan lain-lain, radhiyallahu ‘anhum.
Sementara sahabat Nabi Saw yang tinggal di Bashrah jumlahnya tidak kurang dari 148 orang. Mereka antara lain Abdullah bin Abbas, Annas bin Malik, Utbah bin Ghazwan, Imran bin Hushain, Abu Barzah al-Aslami, Ma’qil bin Yassar, Abu Bakrah, dan lain-lain, radhiyallahu ‘anhum.
ADVERTISEMENT
Mereka tinggal di Kufah dan Bashrah dalam rangka penyebaran agama Islam, termasuk di dalamnya menyebarkan atau meriwayatkan Hadis. Apalagi di antara mereka terdapat sahabat-sahabat yang termasuk al-Mukatsirin (paling banyak meriwayatkan hadis), maka tentunya keberadaan mereka di Irak dalam rangka meriwayatkan hadis.
Tentang pendapat Ibnu Khaldun bahwa keberadaan para sahabat di Irak adalah dalam rangka jihad (perang) sehingga mereka tidak dapat meriwayatkan hadis kepada warga Irak, maka hal itu bisa saja terjadi pada masa-masa awal, yaitu pada masa pembebasan Irak. Sementara pada masa-masa berikutnya tampaknya hal itu tidak terjadi. Sebab ada sebuah sumber yang menuturkan bahwa ketika Khalifah Umar bin al-Khattab mengirimkan ‘Ammar bin Yasir dan Abdullah bin Mas’ud untuk warga Kufah, beliau menulis surat yang antara lain berisi “…Amma ba’du. Kami kirimkan untuk kalian Ammar bin Yasir sebagai gubernur, dan Abdullah bin Mas’ud sebagai mu’allim (tenaga pengajar) dan wazir (pembantu gubernur)”.
ADVERTISEMENT
Ini adalah salah satu contoh bahwa keberadaan para Sahabat di Irak bukan untuk bertempur, melainkan untuk menyebarkan Islam. Oleh karena itu, tampaknya sulit menerima keterangan bahwa warga Irak itu miskin hadis (qolil albidha’ah fi al-hadits) mereka kemudian menjadi kelompok rasionalis (ahl al-ra’yi) yang dalam menangani kasus-kasus hukum mereka lebih mendahulukan rasio (ra’yu, ‘aql) daripada hadis.
Banyak Ahli Hadis Berasal dari Irak
Sekiranya dapat dibenarkan bahwa warga Irak itu sedikit perbendaharaan dalam bidang hadis, dan sekira juga dibenarkan bahwa warga Hijaz, khususnya Madinah, itu kaya akan hadis, tentulah perkembangan yang terjadi pada abad kedua Hijriyah dan seterusnya adalah bahwa para ahli hadis, khususnya para penulis kitab-kitab hadis, adalah orang-orang Hijaz. Ternyata yang terjadi justru tidak demikian. Secara umum, para ahli hadis tidak berasal dari Hijaz, melainkan berasal dari kawasan-kawasan yang justru dekat dengan Irak daripada Hijaz.
ADVERTISEMENT
Kenyataan ini merupakan suatu bukti bahwa warga Irak tidak miskin hadis sebagaimana dikesankan selama ini. Bahkan Imam al-Bukhari (w 256 H) pernah diuji keunggulannya dalam penguasaan hadis oleh sepuluh ulama hadis di Bagdad, yaitu dengan membuat 100 hadis sungsang (maqlub). Untuk menguji seorang Imam al-Bukhari, tentu bukan suatu hal yang mudah, karena diperlukan ulama-ulama hadis berkualitas unggul untuk dapat menguji Imam al-Bukhari. Kenyataan ini juga merupakan bukti lain bahwa Irak kaya dengan ulama hadis.