Konten dari Pengguna

Indonesia Darurat Pelecehan Seksual

Kosmas Mus Guntur
Lembaga Advokasi Hukum dan HAM Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas Periode 2022-2024
26 Agustus 2024 7:58 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kosmas Mus Guntur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pelecehan Seksual. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pelecehan Seksual. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Indonesia memang menghadapi situasi darurat terkait pelecehan seksual, sebuah masalah yang tidak hanya merugikan korban secara individu, tetapi juga mencerminkan kekurangan sistem perlindungan dan penegakan hukum di tingkat sosial dan hukum. Fenomena ini bukan hanya melibatkan kasus-kasus besar yang sering menjadi sorotan media, tetapi juga mencakup kejadian-kejadian sehari-hari yang sering dianggap remeh atau normalisasi.
ADVERTISEMENT
Misalnya, pelecehan Seksual di Ruang Publik; Kasus pelecehan seksual di ruang publik sering terjadi dan sering kali dianggap sebagai hal yang tidak serius. Seperti, laporan tentang pelecehan seksual di transportasi umum seperti bus dan kereta api sering terjadi. Korban, terutama perempuan, sering kali merasa terjebak dalam situasi tersebut tanpa ada jaminan perlindungan atau tindak lanjut yang memadai dari pihak berwajib.
Selain itu, contoh kasus lain seperti di Lingkungan Pendidikan. Di lingkungan pendidikan, terdapat laporan tentang pelecehan seksual yang melibatkan guru atau pengajar dan muridnya. Kasus-kasus seperti ini seringkali menimbulkan trauma mendalam pada korban dan menunjukkan betapa rapuhnya sistem perlindungan anak di sekolah. Penggunaan posisi kekuasaan untuk melakukan pelecehan adalah masalah yang memerlukan penanganan serius.
ADVERTISEMENT
Misalnya, di Jogja, sebanyak 15 Murid SD diduga jadi korban kekerasan seksual. Daerah Istimewa Yogyakarta, diduga menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan sekolah. Pihak sekolah dan korban pun melaporkan terduga pelaku ke polisi, yakni seorang tenaga pengajar lepas di sekolah itu.
Pelaporan dilakukan kepala sekolah beserta penasihat hukum yang mewakili empat korban ke Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Yogyakarta, Senin (8/1/2024) pagi. Kepala sekolah sekaligus merupakan salah satu orang tua korban.
Penasihat hukum korban, Elna Febi Astuti, mengatakan, kasus ini bermula dari aduan anak-anak kelas VI perihal perbuatan seorang guru yang berstatus tenaga pengajar tidak tetap di sekolah itu kepada mereka. Guru laki-laki berinisial NB (22) itu, pengajar mata pelajaran Kreator Konten.
ADVERTISEMENT
Menurut Elna, anak-anak mengadu kepada guru lain yang kemudian menyampaikan hal itu kepada kepala sekolah. Kepala sekolah lalu menyelidikinya secara internal dan mengumpulkan keterangan dari para siswa yang menjadi korban. Para korban sebanyak 15 orang, terdiri dari siswa laki-laki dan perempuan.
Tidak hanya di lingkungan sekolah, pelecehan seksual juga terjadi di tempat kerja adalah isu besar lainnya. Banyak korban merasa tertekan untuk tidak melaporkan pelecehan karena takut akan pembalasan atau kehilangan pekerjaan. Contoh nyata adalah kasus-kasus di mana karyawan perempuan mengalami komentar yang tidak pantas, sentuhan yang tidak diinginkan, atau perlakuan diskriminatif yang berkaitan dengan gender.
Data yang dirilis melalui laman https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan, data yang diinput pada tanggal 1 januari 2024 hingga saat ini (real time). Jumlah kasus sekitar 16.169 kasus dengan perincian korban kekerasan pelecehan seksual terhadap Laki-laki 3.453 kasus. Sementara untuk Korban Perempuan sekitar 14.053 kasus.
ADVERTISEMENT

Kurangnya Perlindungan Hukum

Sistem hukum sering kali dianggap tidak memadai dalam menangani kasus pelecehan seksual. Laporan-laporan seringkali tidak diusut dengan serius, dan adanya ketidakpastian hukum menyebabkan korban merasa tidak ada jalan keluar. Misalnya, adanya kasus di mana pelaku tidak dikenakan hukuman yang setimpal atau proses hukum yang sangat lama, membuat korban merasa tidak ada keadilan yang terpenuhi.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menguatkan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. UU TPKS mengatur jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah terbit sebelumnya. UU TPKS juga mengatur hak korban dalam bentuk penanganan, perlindungan, dan pemulihan.
Secara Hukum korban kekerasan seksual sangat jelas diatur pada Pasal 5 UU TPKS menjelaskan bahwa "perbuatan seksual secara nonfisik" adalah pernyataan, gerakan tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan. Selain UU TPKS, pelecehan seksual juga diatur dalam Pasal 292 KUHP yang mengatur tentang pelecehan seksual dengan ancaman kekerasan. Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang yang dengan ancaman kekerasan memaksa orang lain melakukan perbuatan cabul, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
ADVERTISEMENT
Jadi, pelaku pelecehan seksual dapat dijerat dengan menggunakan pasal pencabulan sebagaimana diatur dalam Pasal 281 s.d. 296 KUHP atau Pasal 406 s.d. 423 UU 1/2023 dengan tetap memperhatikan ketentuan unsur-unsur perbuatan tindak pidana masing-masing. Disisi lain, aturan hukum bagi korban kekerasan seksual masih belum optimal dijalankan.
Meski UU TPKS sudah dua tahun disahkan, tepatnya 12 April 2022, dalam Rapat Paripurna DPR RI telah mengesahkan RUU TPKS. Kemudian pada 9 Mei 2022 Pemerintah menerbitkan sebagai Undang-Undang No 12 Tahun 2022.
Langkah konkret yang cepat ini sangat diapresiasi oleh berbagai pihak. Mulai dari masyarakat, organisasi masyarakat sipil, pendamping korban, Aparat Penegak Hukum, kalangan akademisi, dan sebagainya. Tapi, implementasi dan aturan turunannya belum juga ada pergerakan signifikan.
ADVERTISEMENT

Penegakan Hukum yang Tegas

Penting untuk memperkuat penegakan hukum dengan memastikan bahwa kasus pelecehan seksual ditangani dengan serius. Proses hukum harus lebih cepat dan adil, serta pelaku harus dihadapi dengan sanksi yang tegas.
Selain itu juga, gerakan advokasi kasus, khususnya untuk melakukan edukasi tentang hak-hak seksual dan cara melaporkan pelecehan harus ditingkatkan di semua lapisan masyarakat, termasuk di lingkungan sekolah dan tempat kerja. Kesadaran tentang apa yang dianggap sebagai pelecehan seksual dan bagaimana cara melawannya adalah langkah awal yang penting.
Perlu ada perbaikan dalam kebijakan dan regulasi yang mengatur tentang pelecehan seksual. Pemerintah dan institusi harus bekerja sama untuk menciptakan peraturan yang lebih ketat dan efektif, serta memastikan implementasinya. Jika, sesering mungkin kita melakukan advokasi terhadap korban pelecehan, maka langkah awal untuk memutuskan mata rantai terhadap kasus pelecehan seksual ini adalah melalui sosialisasi di lingkungan sekolah, tempat kerja ataupun di masyarakat terutama titik fokusnya adalah di daerah yang rentan terjadi kasus seksual. Dengan begitu, masyarakat kita paham akan peran dan fungsinya untuk melakukan pencegahan.
ADVERTISEMENT
Selain itu juga, sistem dukungan untuk korban perlu diperkuat, termasuk penyediaan layanan psikologis, bantuan hukum, dan perlindungan terhadap pembalasan. Korban harus merasa bahwa mereka tidak sendirian dan memiliki akses ke berbagai sumber daya untuk membantu mereka melalui proses pemulihan.
Tanpa kita sadari betul bahwa, Indonesia sedang menghadapi darurat pelecehan seksual yang mendalam. Masalah ini memerlukan perhatian yang serius dan tindakan yang cepat dari semua pihak, baik dari pemerintah, masyarakat, maupun lembaga-lembaga terkait, untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan adil bagi semua orang. (*)