Konten dari Pengguna

Pemilu Tanpa Presidential Threshold

Kosmas Mus Guntur
Praktisi Hukum
7 Januari 2025 9:48 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kosmas Mus Guntur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pemilu Tanpa Presidential Threshold (foto/shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pemilu Tanpa Presidential Threshold (foto/shutterstock)
ADVERTISEMENT
Oleh: Kosmas Mus Guntur
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu aspek penting dalam sistem demokrasi di Indonesia. Dalam perjalanan pemilu, terdapat berbagai perubahan yang memengaruhi pelaksanaan demokrasi secara keseluruhan. Salah satu isu yang mendapat perhatian adalah Presidential Threshold (PT), yang membatasi partai politik atau koalisi dalam mencalonkan pasangan calon presiden.
ADVERTISEMENT
Pemilu di Indonesia sudah dilaksanakan beberapa kali, dan salah satu ciri khasnya adalah adanya Presidential Threshold (PT), yang mengatur batasan perolehan suara bagi partai politik atau koalisi yang ingin mencalonkan pasangan calon presiden. PT pertama kali diperkenalkan dalam Pemilu 2009 dengan tujuan untuk menyaring calon presiden yang memiliki dukungan politik cukup besar. Namun, banyak pihak yang berpendapat bahwa sistem ini justru memperburuk dominasi partai besar dan oligarki dalam sistem politik.
Pada masa sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus Presidential Threshold (PT), sistem politik Indonesia cenderung didominasi oleh koalisi partai-partai besar yang memiliki konstituen yang luas dan kuat. Dalam sistem ini, pencalonan presiden sangat bergantung pada koalisi partai yang mampu memenuhi ambang batas perolehan suara yang ditentukan oleh PT. Dengan kata lain, hanya partai besar yang memiliki kekuatan politik yang cukup untuk mencalonkan calon presiden, yang sering kali mengarah pada dominasi oligarki, yaitu kelompok-kelompok kecil yang menguasai kekuasaan politik dan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Oligarki dalam konteks ini merujuk pada penguasaan kekuasaan oleh segelintir orang atau kelompok, yang memiliki kendali atas partai besar dan proses politik di Indonesia. Dalam sistem dengan PT, hanya koalisi partai yang memiliki kekuatan dan sumber daya besar yang dapat mencalonkan presiden. Hal ini menciptakan ketimpangan dalam representasi politik, di mana kelompok-kelompok kecil dengan sumber daya politik yang besar memiliki pengaruh yang jauh lebih besar daripada suara rakyat secara keseluruhan.
Dihapusnya Presidential Threshold oleh Mahkamah Konstitusi, sistem politik Indonesia dapat mengalami perubahan yang signifikan. Tanpa PT, lebih banyak calon presiden dari berbagai latar belakang politik dan sosial dapat muncul tanpa terikat pada koalisi besar. Ini bisa menjadi sebuah langkah maju untuk mengurangi dominasi koalisi partai besar yang selama ini mendominasi arena politik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Keberadaan PT sebelumnya memperkuat dominasi koalisi partai besar, karena hanya mereka yang dapat memenuhi syarat untuk mencalonkan pasangan calon presiden. Dengan menghapuskan PT, partai-partai kecil dan calon presiden dari berbagai latar belakang dapat lebih mudah tampil dalam pemilu. Ini dapat membuka peluang bagi banyak calon presiden dari luar koalisi besar, sehingga mengurangi dominasi partai besar yang selama ini menjadi bagian dari oligarki politik di Indonesia.
Hilangnya dominasi koalisi besar, sistem politik dapat menjadi lebih plural dan inklusif, di mana lebih banyak pihak yang memiliki suara dan peluang untuk berpartisipasi dalam proses politik, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas demokrasi. Demokrasi Indonesia bisa menjadi lebih representatif, lebih terbuka bagi berbagai calon dan partai politik, serta lebih mengakomodasi aspirasi rakyat yang sebelumnya mungkin terpinggirkan oleh sistem PT yang ada.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, hilangnya dominasi koalisi dan oligarki dapat memperkuat prinsip-prinsip demokrasi, seperti kesetaraan dan inklusivitas, dalam pemilu yang lebih bebas dan adil.
Pemilu 2029
Pada Pemilu 2029, isu mengenai Presidential Threshold mungkin akan semakin relevan, terutama jika ada wacana penghapusan atau perubahan terhadap aturan tersebut. Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya partisipasi yang lebih luas dalam politik, pemilu tanpa Presidential Threshold dapat memberikan peluang bagi lebih banyak calon presiden dari berbagai kalangan, yang tidak terikat pada partai besar atau koalisi yang telah mapan. Pemilu 2029 bisa menjadi ajang eksperimen untuk melihat dampak dari kebijakan ini terhadap partisipasi politik dan kualitas pemilu di Indonesia.
Sistem Presidential Threshold yang berlaku saat ini, meski bertujuan untuk menjaga kestabilan politik, justru dianggap banyak pihak sebagai penghalang bagi calon-calon presiden yang tidak didukung oleh partai besar. Evaluasi terhadap PT ini sangat penting, terutama jika kita ingin melihat apakah sistem ini masih relevan dalam konteks politik Indonesia yang terus berkembang. Pemilu tanpa Presidential Threshold dapat menjadi cara untuk menguji apakah sistem ini sudah tidak efisien dan apakah ada cara yang lebih baik untuk menciptakan pemilu yang lebih inklusif dan demokratis.
ADVERTISEMENT
Pada teori demokrasi menekankan pada pemerintahan oleh rakyat yang melibatkan partisipasi aktif warga negara dalam proses pengambilan keputusan politik. Salah satu konsep utama dalam teori demokrasi adalah kesetaraan politik, di mana setiap individu memiliki hak yang sama dalam menentukan arah politik bangsa.
Presidential Threshold yang terlalu tinggi dapat dianggap bertentangan dengan prinsip kesetaraan ini, karena hanya partai-partai besar yang dapat mencalonkan pasangan calon presiden, mengurangi kesempatan bagi calon dari partai kecil. Artinya, menghapus Presidential Threshold bisa dilihat sebagai langkah untuk lebih mengakomodasi prinsip-prinsip dasar demokrasi, yaitu “kebebasan dan kesetaraan” dalam berpolitik.
Hilangnya Dominasi Oligarki
Salah satu kritik terhadap Presidential Threshold adalah bahwa ia memperkuat dominasi oligarki, yaitu kelompok kecil yang menguasai kekuasaan politik dan ekonomi. Dalam sistem dengan Presidential Threshold, partai besar cenderung lebih dominan dalam menentukan calon presiden, sehingga mengurangi peluang bagi figur dari luar partai besar untuk tampil.
ADVERTISEMENT
Dengan menghapuskan PT, mungkin saja kita dapat melihat berkurangnya pengaruh oligarki dalam proses pencalonan presiden. Pemilu yang lebih terbuka dan inklusif dapat memberikan ruang bagi calon-calon dari berbagai latar belakang politik dan sosial, yang pada gilirannya dapat mengurangi konsentrasi kekuasaan di tangan segelintir kelompok.
Seperti yang kita ketahui, Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan presiden merupakan ketentuan dalam sistem pemilu Indonesia yang mengatur jumlah suara atau perolehan kursi yang harus diraih oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusung calon presiden dan calon wakil presiden. PT ini diterapkan dalam Undang-Undang Pemilu yang terakhir untuk pemilu presiden, yang mengharuskan partai politik atau koalisi memiliki minimal 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional dalam pemilu legislatif sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Salah satu indikator dampak PT adalah yang akan merusak moralitas demokrasi adalah “polarisasi politik”. PT yang tinggi bisa memperburuk polarisasi politik, di mana masyarakat terpecah antara dua kekuatan politik utama, dan ini dapat mengurangi kemampuan sistem demokrasi untuk menangani keberagaman sosial dan politik.
Secara keseluruhan, Presidential Threshold memang dapat membawa beberapa keuntungan dalam hal stabilitas politik dan menghindari fragmentasi yang berlebihan, tetapi jika tidak diatur dengan hati-hati, dapat merugikan prinsip dasar demokrasi seperti pluralisme, persaingan politik yang sehat, dan representasi yang adil. Lalu, usai Mahkamah Konstitusi menghapus Presidential Threshold bagaimana nasib UU Pemilu kita?