Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Manajemen Konflik Pascapemilu 2024
1 Maret 2024 13:45 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Konfridus R Buku tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemilihan Umum 14 Februari 2024 telah usai namun masih meninggalkan proses perhitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang masih terus berlanjut. Di sela-sela penantian pengumuman hasil perhitungan suara oleh KPU sejumlah lembaga survei telah merilis hasil quick count dan telah beredar diberbagai media sosial hasil rekapitulasi sementara pemilihan umum 2024.
ADVERTISEMENT
Pemilihan umum merupakan sebuah kontestasi politik demokratis yang mengharuskan para calon baik legislatif dan eksekutif (capres-cawapres) bertarung untuk memperebutkan kursi-kursi kekuasaan. Perebutan dan pertarungan ini tentunya akan melahirkan pemenang dan di sisi lain juga akan menghadirkan yang kalah.
Kemenangan dan kekalahan dalam pilpres tentunya akan menghadirkan fenomena-fenomena menarik terutama dari kalangan yang kalah dalam pemilihan umum ini. Kekalahan tentunya akan melahirkan dua hal yang saling bertolak belakang, orang yang 'legowo' tentunya akan dengan rendah hati menerima kekalahan namun pihak yang merasa tidak 'legowo' tentunya akan menolak hasil pemilu ini. Penolakan ini tentunya akan menghasilkan konflik sosial baik di kalangan elite hingga ke akar rumput.
Proses menjelang penetapan hasil pemilu oleh KPU diwarnai oleh sejumlah isu konflik baik individu maupun kelompok, baik ditingkat daerah bahkan hingga ke tingkat nasional. Dalam konteks Pileg konflik terutama terjadi di berbagai daerah.
ADVERTISEMENT
Ada pihak atau caleg yang gagal yang menolak hasil rekapitulasi sementara yang kemudian berusaha mengintimidasi pemilih atau bahkan juga menuduh caleg lain bertindak curang. Hingga wacana hak angket DPR dalam rangka mengusut kecurangan pemilu 2024.
Misalnya seperti yang diberitakan dalam detik.com periode 15 Februari-27 Februari 2024 terdapat sejumlah caleg gagal yang memblokir jalan, merusak rumah warga, meneror warga menggunakan petasan, menarik kembali bantuan, bahkan hingga mengalami gangguan jiwa.
Di sisi lain dalam konteks pertarungan Pilpres 2024 juga menghadirkan sejumlah wacana penolakan, isu-isu kecurangan, hingga wacana hak angket DPR. Isu-isu ini terutama digaungkan oleh Paslon nomor urut 1 dan 3 yang nota bene berdasarkan hasil rekapitulasi sementara merupakan pihak-pihak yang kalah dalam perhelatan Pemilu kali ini. Situasi-situasi ini tentunya akan melahirkan konflik sosial baik di tingkat akar rumput hingga ke tingkat elite.
ADVERTISEMENT
Belajar dari pemilu 2019 tak jarang konflik di akar rumput merupakan resonansi dari cara kompetisi di antara elite politik yang tidak membangun. Polarisasi selama ini telah menimbulkan perpecahan yang memiliki daya rusak dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Konflik sosial pasca pemilu seakan-akan telah menjadi persoalan wajib lima tahunan. Pemilu 2024 tidak berangkat dari titik steril namun sudah berada pada polarisasi yang tajam di tengah masyarakat. Bahkan menjelang hari pencoblosan isu-isu kecurangan pemilu telah didengungkan oleh sejumlah kalangan yang tentunya akan melahirkan polarisasi.
Polarisasi kelompok masyarakat akibat pilihan politik tersebut mengakibatkan sensitivitas negatif yang tinggi dalam interaksi masyarakat baik interaksi langsung maupun di dunia maya. Sensitivitas negatif yang tinggi ini rentan terhadap terjadinya konflik sosial di tengah-tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam ruang lingkup daerah bisa dilihat sensitivitas negatif dalam politik praktis yang bisa menyulut konflik fisik di masyarakat. Pada lingkup politik nasional polarisasi berkepanjangan terjadi sampai saat ini. Polarisasi ini berkembang hingga ke aspek interaksi publik. Akibat konflik ini tensi politik masyarakat selalu tinggi dan terutama di dunia maya. Saling serang dan sebaran ujaran kebencian sering muncul dalam interaksi di media sosial.
Konflik ini menyimpan dan menyebarkan kebencian dan dendam di antara kelompok yang berseberangan pilihan politik. Tentu situasi ini menjadi kendala dalam membangun dan menjaga integrasi nasional. Bahkan kebencian dan dendam yang tersimpan tersebut menjadi bahaya laten yang setiap saat apabila ada pemicu bisa menimbulkan eskalasi konflik yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Penegakan hukum kepemiluan yang tegas harus dikedepankan dan diharapkan dapat menekan pertentangan di antara kontestan, pendukung dan kelompok masyarakat. Perlu juga dipastikan bahwa para penyelenggara pemilu telah menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik tanpa intimidasi dan keterlibatan pihak lain (netralitas).
Di Indonesia ada tiga lembaga yang memastikan terlaksananya parameter pemilu yang demokratis, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan umum), dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan umum).
Keberadaan lembaga yang menyelenggarakan pemilu adalah Badan administratif, yaitu, untuk menyelenggarakan pesta demokrasi secara adil dan transparan serta memastikan tidak ada pemalsuan dalam pelaksanaannya. Namun, dalam banyak kasus, keberadaan badan pemilihan tidak hanya bersifat administratif tetapi juga politis, karena kredibilitas pemilihan demokratis dipertaruhkan (Fahmi, 2020: 3)
ADVERTISEMENT
Untuk memastikan bahwa Pemilu telah berjalan dengan Jurdil (jujur dan adil) maka peran KPU, Bawaslu, DKPP hingga Mahkamah Konstitusi menjadi penting. Keberhasilan pemilihan parlemen terletak pada upaya yang dilakukan KPU, Bawaslu maupun MA/MK sebagai satu-satunya fungsi pelaksanaan pemilihan umum dan proses peradilan pelanggaran pemilu. Lembaga ini diberdayakan oleh undang-undang untuk menyelenggarakan pemilu sesuai dengan fungsi, tugas dan wewenang masing-masing.
Konflik-konflik politik dan individu pasca pemilu harus diselesaikan secara lebih komperhensif. Strategi manajemen konflik menjadi penting agar ada resolusi konflik dalam penyelesaian sengketa pemilu. Strategi yang tepat akan mampu meredam dan menyelesaikan berbagai konflik pemilu dengan baik. Namun strategi yang keliru dan tidak tepat sasar malah akan menyebabkan eskalasi konflik. Oleh karena itu dibutuhkan manajemen konflik yang baik.
ADVERTISEMENT
Manajemen konflik menurut Wirawan (2010) didefinisikan sebagai proses pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga yang menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan. Lima strategi manajemen konflik yang dikemukakan Thomas dan Kilmann dalam Wirawan (2010) yakni sebagai berikut;
Pertama, Akomodatif (Accomodating): Strategi ini adalah menampung semua keinginan dari pihak-pihak yang berkonflik bahkan yang bertentangan dengan kemauan salah satu pihak. Menjadi tugas Bawaslu untuk mampu menyaring seluruh aduan tindak kecurangan dan pelanggaran pemilu yang tentunya akan diselesaikan melalui mekanisme yang ditetapkan.
Penyelesaian konflik awalnya bisa dilakukan dengan mediasi dengan mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa. Jika tercapai kesepakatan, maka dibuat perdamaian. Namun sebaliknya, jika tidak ada perdamaian maka masuk ke tahap ajudikasi. Tahapan ajudikasi melibatkan lembaga peradilan khususnya Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan berbagai persoalan sengketa pemilu.
ADVERTISEMENT
Kedua, Menghindar (Avoiding): Strategi menghindar adalah upaya untuk menunda konflik tanpa batas. Dengan menunda atau mengabaikan konflik, avoider berharap masalah akan selesai dengan sendirinya seiring dengan waktu tanpa konfrontasi. Dalam konteks ini adalah ketika konflik masih dalam skala kecil dan bisa diselesaikan oleh Bawaslu tanpa harus ke tahapan peradilan. Menghindar bukan berarti lari dari persoalan namun berusaha melihat skala persoalan dan menyelesaikannya secara lebih cepat tanpa harus sampai pada tahapan peradilan.
Ketiga, Mengkolaborasikan (Collaborating): Kolaborasi dilakukan dengan cara mengintegrasikan ide-ide dari beberapa orang yang berkonflik. Tujuannya adalah untuk menemukan solusi kreatif yang dapat diterima oleh semua orang. Kolaborasi bisa dengan melibatkan banyak pihak terutama ketika konflik terjadi dalam masyarakat maka harus juga melibatkan para stakeholder yang ada dalam masyarakat agar persoalan dapat terselesaikan. Jika kemudian konflik sampai pada tataran peradilan maka elaborasi juga menjadi hal yang penting agar ada transparansi dan akuntabel.
ADVERTISEMENT
Keempat, Mengkompromikan (Compromising): Strategi berkompromi ini adalah strategi yang menggunakan pendekatan “lose-lose” atau “kalah-kalah” di mana semua pihak yang sedang dalam konflik bersedia untuk mengalah atau tidak mendapatkan apa yang sebenarnya mereka inginkan demi menjaga hubungan dan kepentingan bersama. Dalam konteks ini yang ditekankan adalah kerendahan hati atau legowo dari masing-masing kontestan untuk mampu menyelesaikan persoalan dan sengketa secara lebih bijak.
Kelima, Mengkompetisikan (Competing) Kompetisi dicirikan dengan adanya pihak menang dan lainnya kalah. Strategi penanganan konflik dengan membuat kompetisi dapat menjadi pilihan terbaik karena seringkali meningkatkan produktivitas. Kompetisi ini harus dapat dibuktikan melalui data yang akurat dan dipertanggungjawabkan hingga pada tahapan peradilan, baik di MK maupun pada peradilan biasa.
ADVERTISEMENT
Strategi manajemen konflik tentunya diambil berdasarkan skala konflik yang terjadi. Masing-masing strategi harus juga memperhatikan akar konflik dan pemicu konflik agar konflik dapat terselesaikan dengan baik hingga ke akar-akarnya. Konflik sosial yang dibiarkan berlarut-larut akan melahirkan konflik lainnya.
Pada akhirnya konflik politik pasca pemilu dapat diselesaikan dengan terus melibatkan berbagai stakeholder, mulai dari elite politik, masa akar rumput, penegak hukum hingga penyelenggara negara. Pemilu hanya dijalankan lima tahun sekali namun masa depan bangsa dipertaruhkan selamanya. Tanggung jawab semua pihak menjadi penting dalam menyelesaikan konflik pascapemilu. Oleh karena itu mari kita bersama-sama membenah bangsa ini secara lebih arif dan bijaksana tanpa melahirkan konflik yang memecah belah bangsa.