Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mahasiswa : Pendidikan dan Kemalasan Adalah Takdir
9 April 2024 13:33 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Kristian Ndori tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada masa digitalisasi saat ini, kita semua terkapar dalam situasi yang menjadikan kita pribadi yang serba instant. Hal demikian membuat kita malas melakukan hal-hal yang sering kita lakukan secara fisik. Seperti menulis menggunakan pena, membeli makan di warung, dan pergi ke pasar tradisional.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia pendidikan , kita sudah dibentuk untuk berani dan menantang hal apa saja yang belum pernah kita lakukan. Pendidikan mengorganisir setiap orang agar memahami pedoman dan moral ketika kelak hidup dalam lingkungan masyarakat.
Fenomena terjebak (malas) ini acap terjadi pada kalangan Mahasiswa saat ini. Sekarang kalangan mahasiswa sudah jarang berbelanja di pasar-pasar terdekat, berbeda dengan mahasiswa era 90-an.
Bahkan, makanan di warung cepat saji sudah menjadi dapur pribadi mereka. Ini perihal makanan, belum lagi kewajiban akademis yang di lakukan secara instant tanpa memikirkan "bencana" kedepannya. Bukti nyatanya adalah menyewa orang untuk mengerjakan tugas kuliah dan tugas akhir (skipsi). Meskipun itu masuk dalam logistik pribadi kalian, hanya satu yang ingin saya katakan buat kalian; Bodoh!
ADVERTISEMENT
Mahasiswa Kok Jarang Masak?
Kepribadian yang sedari awal sudah bermalas-malasan akan menjadi sebuah kebiasaannya (habbit). Sebagai mahasiswa yang hidup serba mandiri, saya merasa heran dengan kehidupan beberapa teman saya yang jarang masak di kos. Bahkan, kamar kos nya hanya untuk menyimpan pakaian dan menumpang mandi dan istirahat tidur. Padahal mereka bukan dari keluarga yang berada. Melainkan memiliki nasib yang sama seperti saya – anak petani.
Mahasiswa normal, biasanya membeli perlengkapan dapur (sayur dan lauk) di pasar terdekat, lalu membawanya untuk dimasak. Berbeda dengan mahasiswa yang tidak normal lainnya, mereka jarang berbelanja ke pasar. Melainkan, memesan secara online (instant), dan harganya menjadi mahal ketimbang mereka berbelanja di pasar. Misalnya sayur yang harganya 5000-an, di tambah Tempe seharga 3000-an, akan menjadi 25000-an jika memesan di gofood karena sudah terpotong biaya pengiriman dalam satu paket. Entah itu Jumbo ataupun Combo.
ADVERTISEMENT
Saya tidak menuntut agar kalian berhenti memesan makan secara online, melainkan saya mengajak kalian untuk hidup hemat dan pintar mengakumulasi keuangan. Karena, biaya hidup kita masih di tanggung orang tua. Kita makan serba enak dengan penyakit malas memasak. Sedangkan, orang tua kita makan seadanya dan memilih memasak di rumah agar bisa hidup hemat demi kebutuhan pokok anaknya yang lagi menempuh pendidikan tinggi. Sebenarnya boleh kalian berfoya-foya, kecuali kamu anak kandungnya Hotman Paris!
Sebagai mahasiswa yang peduli dengan sesama, apalagi saya anak perantuan yang kehidupan sehari-harinya tidak pernah di kirimi uang oleh orang tua. Karena saya membiayai (biaya hidup dan kuliah) seorang diri. Saya bebas melakukan apa saja untuk menyenangkan diri sendiri. Karena kehidupan saya jauh dari campur tangan orang tua. Entah itu dugem, miras, nongki di kafe elit, dan masih banyak aktifitas lainnya yang bisa saya lakukan. Namun, saya harus bisa mengontrol nafsuh dan gelitikan (ajakan) teman. Maka, saya munculkan sebuah pertanyaan kilat, apakah ajakan teman dan kemauan sendiri itu menguntungkan bagi saya? atau malah merugikan bagi saya?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan seperti ini harus dijadikan sebagai pedoman hidup, agar kita mempunyai senjata untuk mengendalikan diri.
Saya mempunyai seorang kawan yang berbeda kampus dengan saya. Dia sangat jarang memasak, padahal alat-alat memasaknya terbilang cukup lengkap. Ada alat menggoreng dan memanggang. Akan tetapi, hampir tiga kali sehari, selalu ada tukang ojek yang mengantarkan makanan untuknya. Saya berpikir dia adalah anak orang kaya. Sayangnya, kedua orang tuanya petani – sama dengan saya. Melihat hal seperti ini, saya jadi merasa sedih dengan kehidupannya.
Bapaknya bekerja (nyambi) menjadi tukang serabutan dan membajak sawah sebagai pekerjaan utamanya. Ia malah tidak pernah memikirkan perjuangan kedua orang tuanya dalam membiayai perkuliahan dan kehidupannya.
Begitulah fenomena anak durhaka versi mahasiswa!
ADVERTISEMENT
Mahasiswa malas kerja tugas
Ada dua tradisi yang diwariskan oleh almuni kampus kepada adik-adik mahasiswanya, ialah tradisi malas dan tradisi menunda. Kedua tradisi ini saling bahu-membahu agar mahasiswa menjadi lengah karena dua unsur, yakni unsur sengaja dan tidak sengaja (terpaksa). Dalam pembelajaran di ruang kelas, ketika ada dosen yang sedang sibuk ataupun sedang tidak masuk, maka dosen tersebut harus memberikan tugas kepada mahasiswanya. Agar mahasiswa punya aktivitas, daripada tiduran. Mendapati tugas yang diberikan dosen tentu ada dua sifat yang keluar dari tubuh mahasiswa, ada yang senang dan ada tidak senang. Mereka yang menyukai adanya tugas pun, bukan karena sepenuhnya menginginkan, melainkan ingin dinilai aktif oleh dosennya. Padahal, mereka juga menginginkan waktu kosong untuk bermain dan tidur-tiduran. Tidak ada jam pelajaran artinya waktu untuk bermain-main semakin meluas. Seperti itulah, nalar beberapa mahasiswa yang pernah saya jumpai.
ADVERTISEMENT
Ada perspektif susulan dari mahasiswa pemalas. Pemberian tugas semacam itu, dianggap seperti atribut yang sangat di sukai bagi mahasiswa yang pemalas (karena kelas jadi kosong). Mahasiswa pemalas biasanya tidak akan terburu-buru untuk mengerjakan tugas yang diberikan. Mereka memilih berleha-leha di awal dan akan terburu-buru jika deadline-nya sudah dekat. Nahasnya, bagi mahasiswa yang super sibuk dan pemalas, mereka akan memilih jalan lain yaitu joki tugas.
Dengan adanya joki mereka merasa terbantu. Sayang seribu sayang, mereka tidak menyadari dan memahami secara fundamental tentang ilmu apa yang diperoleh karena itu adalah dampaknya. Tapi siapa yang peduli?
Ada kawan saya, namanya Bunga (nama samaran – 22). Dia sangat jarang mengerjakan tugas, bahkan untuk meminta tanda tangan krs saja dia jarang banget. Hal ini membuat dosen sangat geram padanya. Dan untuk menyelesaikan tugasnya, dia membayar orang (joki) untuk mengerjakan tugasnya, dan bayarannya lumayan mahal – 50 ribu per tugas.
ADVERTISEMENT
“tugas semester ini aku bayar joki semua, karena aku sangat sibuk. Yaa, lumayan sih per tugas 50 ribu”, kenangnya.
Dalam semester ini, sudah ada sekitar 18 tugas dari 6 dosen yang berbeda. Kalau di kali-kan dengan harga joki, maka Bunga sudah membayar 900 ribu.
Padahal, kesibukannya hanya berdiam diri di kos dan tidak sambil bekerja. Uang sebesar itu pun dia minta dari orang tua kandungnya. Benar-benar mahasiswa pemalas!
Mahasiswa tidak produktif
Mengerjakan tugas saja sudah jarang apalagi melakukan riset ilmiah dan penelitian lainnya. Belajar dari kasus di atas, kita pasti menyimpulkan, Bunga adalah mahasiswa yang tidak produktif. Sedang, saat ini banyak sekali portal media yang membuka ruang bagi siapa saja untuk berkreatifitas seperti menulis dan melalukan riset. Sejauh yang saya ketahui, ada portal website seperti omong-omong media, mojok.co, kumparan, semilir.co, kompasiana, thecolumnist, dan masih banyak media lainnya.
ADVERTISEMENT
Media ini sangat membantu kita untuk melakukan aktivitas yang produktif termasuk aktivitas menulis. Menulis adalah jalan terbaik untuk mengembangkan skill dan menjadikan kita mahasiswa yang terbilang keren karena mempunyai karya.
Apabila, kita tidak memanfaatkan ini dengan baik, maka kata “Pemalas” adalah yang paling tepat bagi mahasiswa itu. Dari beberapa media yang disebut di atas, ada beberapa yang memberikan bayaran dari setiap tulisan yang kita kirimkan (ter-publish). Itu sangat membantu biaya kehidupan kita sebagai mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Menjadi mahasiswa itu tidak gampang. Kita harus membayar UKT dengan uang jutaan rupiah, agar nilai kepribadian dan elektabilitas kita di bentuk secara akademis. Tapi, ketika kita tidak sepenuhnya meresapi apa yang diajarkan di lingkup kampus, maka uang itu terbuang dengan cuma-cuma.
Jadi, mulai sekarang berhentilah bermalas-malas. Karena kita sudah membayar biaya kuliah dengan mahal. Kasihan orang tua kita yang rela membanting tulang demi anaknya, agar kelak bisa memegang toga dan Ijazah.