Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dilema Pasar Uang Indonesia
17 November 2020 17:52 WIB
Tulisan dari Kristianto Naku tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, pasar uang mulai marak pada awal tahun 1990 seiring dengan iklim liberalisasi atau keterbukaan sektor finansial yang sudah mulai berhembus ke Indonesia. Iklim liberalisasi ini ditandai dengan peluncuran paket deregulasi perbankan yang paling dramatis dalam sejarah sektor keuangan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Mengalir masuknya dana asing ke Indonesia, baik melalui pintu investasi asing langsung (foreign direct investment), investasi portofolio di pasar uang dan pasar modal (portofolio investment), serta utang luar negeri swasta (private foreign debt) berbentuk commercial paper yang berjangka sangat pendek – maksimal jatuh tempo dua tahun – merupakan awal dari terbukanya kesempatan bagi para spekulan untuk “bermain” valuta asing di Indonesia.
Pihak yang memandang fenomena ini dengan sangat konservatif, pasti akan menyalahkan fenomena liberalisasi finansial ini sebagai penyebab terjadinya spekulasi atau perdagangan uang. Liberalisasi finansial dianggap sebagai biang keladi terjadinya malapetaka krisis ekonomi.
Namun di sisi lain, situasi perekonomian Indonesia waktu itu memang tidak memungkinkan untuk menampung beban investasi asing di Indonesia. Indonesia saat itu, mengalami yang namanya fluktuasi beban penyerangan membabi-buta oleh gaya penanaman modal asing. Hal ini dipicu juga oleh kebijakan pemerintah Indonesia yang terlalu fleksibel untuk menjemput bola.
ADVERTISEMENT
Zaman Suharto, segala kebijakan dalam negeri direpres oleh pemerintah. Oleh karena kebijakan tangan besi itu, perkembangan kamar dagang Indonesia bisa maksimal. Proses perputaran uang di Indonesia pada tahun 1999 hingga sekarang justru distir oleh kebebasan pers sebagai pilar ketiga demokrasi untuk gencar mengusung Indonesia di kancah global. Tanpa perjuangan dan ambisi menembus selaput atmosfer kebijakan kaku, Indonesia akan terus berada di bawah tekanan otoriter pemerintahan dalam negeri.
Pada dasarnya kebijakan ini, mengandung dua esensi dan urgensi. Pertama, memberi ruang gerak yang lebih besar kepada bank-bank, sehingga lebih ekspansif. Di Indonesia, kemudahan ini juga diberikan pada pendirian bank-bank baru. Kedua, pemodal asing mulai diundang masuk untuk menambah gairah di pasar uang dan pasar modal.
ADVERTISEMENT
Selain tertarik membeli saham, para pemodal asing juga banyak menaruh minat menyimpan dananya ke dalam tabungan rupiah karena memberi return yang lebih besar – bunganya lebih tinggi dibandingkan di luar negeri. Debat mengenai keberadaan “perdagangan” uang ini, kira-kira pararel dengan wacana yang sering berkembang mengenai kemungkinan diterapkannya rezim exchange control atau pengawasan devisa dan fixed exchange rate atau sistem kurs tetap di Indonesia.
Ketika rupiah mulai bergejolak lagi sejak Mei 2000, orang pun mencari-cari upaya untuk meredamnya, melalui dua kebijakan tersebut. Namun masalahnya, menerapkan rezim pengawasan devisa di saat kita masih sangat memerlukan investasi asing dan berupaya untuk mengembalikan capital flight periode krisis 1997 – 1999 sebesar 75 miliar dollar AS, jelas sangat kontraproduktif.
ADVERTISEMENT
Pemberlakuan rezim pengawasan devisa hanya akan meningkatkan kekhawatiran investor, sehingga mereka enggan untuk datang ke Indonesia. Inilah dilema pasar Indonesia. Di satu pihak kita memerlukan stabilitas rupiah dan di pihak lain, untuk menuju ke sana, ruang gerak spekulan harus diperkecil. Bagaimana caranya? Apakah perdagangan uang harus dilarang? Bagaimanapun sebagai “negara kecil” dalam konteks perekonomian dunia, Indonesia harus hati-hati.