Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Revisi UU ITE Agar Tak Dijerat Penafsiran
19 Februari 2021 6:15 WIB
Tulisan dari Kristianto Naku tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bicara soal hukum tak jauh dari yang namanya hermenutika. Dalam ilmu hermeneutika, seni penafsiran menjadi gagasan pokok yang perlu dikedepankan, tetapi sekaligus dicermati secara hati-hati. Dalam sebuah teks Undang-Undang, tentu memuat banyak pernyataan, definisi, dan contoh-contoh yang membantu seseorang memahami secara benar, bijak, dan tepat upaya penafsirannya. Akan tetapi, penjabaran yang dikelola dengan kategori umum membuat teks undang-undang ini mudah digelinding.
ADVERTISEMENT
Artinya apa? Dalam satu teks undang-undang, keterampilan menafsir adalah senjata utama. Jika Anda pandai menafsir isi teks UU, Anda dengan mudah meloloskan seseorang dari jeratan hukum atau sebaliknya Anda dengan mudah pula menjerat seseorang dengan aturan hukum yang berlaku. Dengan kata lain, bicara soal hukum tak lain bicara soal seni menginterpretasi (the art of interpretation). Seni dalam hal ini, bisa berubah menjadi petaka jika ruang interpretasi terlalu diperlebar atau mungkin sebaliknya jika terlalu dipersempit.
Saat ini, publik tengah berpolemik mengenai urgensitas revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 ini, katanya memberi celah bagi upaya kriminalisasi atas suara-suara vokal yang gemar memberi saran, masukan, dan kritik. Semua perhatian publik untuk saat ini pun tertuju ke Pasal 27, 28, dan 29 UU ITE.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan laporan yang dihimpun Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), sejak 2016 sampai Februari 2020, untuk kasus-kasus terkait dengan Pasal 27, 28, dan 29 UU ITE menunjukkan penghukuman mencapai angka 96,8% dengan tingkat pemenjaraan sangat tinggi mencapai angka 88% (MI, 18/2/2021).
Merujuk ke data dan fakta yang dilaporkan ICJR di atas, UU ITE tentunya telah memakan korban. Akan tetapi, kita perlu kritis kenapa sampai ada korban berhadapan dengan regulasi tertulis ini? Apakah dalam hal ini kita langsung mempersalahkan para legislator yang merancang UU ini ataukah para pelanggar itu sendiri? Jika ingin direvisi, isinya seperti apa?
Bukankah setelah direvisi, akan ada semangat interpretasi yang muncul dalam model yang baru atau malah lari ke yang lama? Ataukah upaya revisi nantinya justru membuka ruang tindak pidana yang tak terbendungi karena tak ada pasal khusus yang berbicara mengenai kasus-kasus tersebut?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan-pertanyaan di atas, tentu hanyalah alat uji bagaimana kita bijak menilai produk UU yang disajikan ke depannya. Ketika sebuah produk UU dikeluarkan atas dasar keputusan bersama dan diratifikasi oleh kerena konsensus komunal, itu artinya UU tersebut wajib ditaati. Undang-Undang berlaku untuk semua orang tanpa kecuali (equality before the law).
Itu artinya, ketika seseorang berhadapan dengan aturan UU yang berlaku, segala label dan atribut yang melekat padanya otomatis dilepaskan. Undang-Undang, dengan kata lain membantu menemukan keadilan dengan cara membuktikan kebenaran fakta. Jika seseorang diketahui terbukti bersalah, UU adalah dasar sekaligus acuan untuk memperkuat dan memberi ketentuan lebih lanjut atas pelaku tindak pidana.
Pasal-pasal yang dimuat dalam satu teks UU, biasanya dibuat melalui sebuah mekanisme yang panjang dan studi ilmiah yang serius-mendalam. Hal ini menjadi penting mengingat UU tersebut ketika selesai dipromulgasikan akan membawa dampak besar bagi keteraturan dan kenyamanan hidup bersama.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang yang dijabarkan dalam bab, pasal-pasal, dan huruf-huruf akan bermakna dan bernilai ketika diterapkan pada kasus-kasus tertentu. Akan tetapi, persoalan terbesarnya ada pada kualitas penerapannya dan jumlah konsekuensi yang diterima usai diterapkan pada setiap kasus.
Kualitas penerapan dalam hal ini berkaitan dengan profesionalitas hakim sebagai pelaksana, penutur, sekaligus penjaga UU. Seringkali, persoalan-persoalan terkait kualitas penerapan UU itu sendiri lemah di bagian ini. Contoh paling gamblang ketika Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akhil Mochtar dijerat tindak pidana suap. Dalam kasus mantan ketua MK ini, fungsi menjalankan hukum dan UU justru keluar dari kewenangan yang seharusnya.
Di sisi lain, jumlah pelanggar yang dipidakan bisa saja menjadi alasan kenapa UU dipaksa untuk direvisi. Jika dalam kasus pelanggar dengan jumlah yang banyak dengan alasan yang pasti sesuai dengan ketentuan dan ketetapan hukum yang berlaku, apakah revisi UU adalah sebuah kewajiban?
ADVERTISEMENT
Kasus Kopi Sianida yang mempertemukan Jessika Kumala Wongso dan Mirna di meja hukum adalah dacing yang baik bagaimana penerapan hukum dan penafsiran atas isi pasal-pasal itu diterapkan. Semakin kuat dan logis argumen seseorang di ruang sidang, semakin besar pula peluang untuk bebas dari jeratan hukum. Maka, sekali lagi, hukum itu tak lain soal seni berargumen dan menginterpretasi.
Kita semua tahu hukum melalui UU yang berlaku diterapkan bukan untuk mengekang atau menghukum seseorang. Hukum melalui UU dipakai hanya untuk menemukan keadilan dan kebenaran. Jika ada seseorang yang bermasalah, tugas penegak hukum tidak lain mengidentifikasi di mana letak kesalahannya, menguji kebenaran – terbukti bersalah atau tidak, lalu selanjutnya diberi terapi sesuai dengan resep yang ditulis dalam teks UU berlaku.
ADVERTISEMENT
Maka, sebetulnya, jika dicermati secara mendalam, semua upaya mencapai keteraturan hidup bersama pertama-tama lahir dari masing-masing pribadi. Jika saya menggunakan kekuatan verbal saya di depan umum, maka saya juga wajib mempertanggung jawabkannya dengan bijak. Jika tidak, saya akan mendapat resep berupa pidana dari aturan yang berlaku, agar saya di kemudian hari bisa memperbarui, sekaligus memperbaiki cara saya yang mungkin salah.