Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
"Anda semua adalah tukang dongeng," ujar Yusuf ''Dalipin" Arifin, saat membuka acara Onboarding kumparan 1001 Start Up Media Online di Ballroom Hotel Puri Denpasar, Jakarta, Jumat (25/1).
ADVERTISEMENT
Lewat kata-kata itu, Chief of Storyteller kumparan mengumpamakan wartawan sebagai pendongeng, pencerita kepada masyarakat. Namun, cara mendongeng itu berubah dari era media cetak, radio, televisi, hingga online.
Di era radio, wartawan jadi lebih terbantu dalam melakukan reportase. “Misalnya ada bencana, bisa merekam suara badai. Itu bisa membantu penulis dalam melakukan abstraksi, untuk kemudian dikonstruksikan,” ujar Dalipin.
Namun, hal itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan munculnya televisi. Menurutnya, televisi telah mengubah segalanya. Pekerjaan wartawan menjadi lebih sederhana lagi. “Tinggal pasang kamera, tunjukkan ke tempat kejadian, dan ‘saya’ ada di situ, selesai.” katanya.
Dalipin mencontohkan saat dirinya pergi ke Brazil untuk liputan di Amazon, kemudian mereka terjebak badai di pulau kecil Saint Antonia. “Wartawan radio sibuk merekam dan menceritakan kondisi di sana, sedangkan orang televisi hanya masang kamera dan bercerita ‘kami terjebak badai di Saint Antonia’ kemudian sambil menunjuk kondisi sekitar. Dia tidak perlu bercerita tentang kecepatannya, atau apapun. Dia hanya bercerita ‘kami terpaksa harus bersembunyi sampai menunggu aman,’ hanya butuh 'punctuation',’’ ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Memasuki media online: Storyteller kembali berubah, dan muncullah istilah multiplatform journalism yang menuntut wartawan untuk menguasai empat platform tersebut, yakni harus berpikir seperti media cetak, radio, televisi, dan online. Karena wartawan online memungkinkan melakukan semuanya saat berada di lapangan.
Namun, seiring dengan munculnya media sosial, title wartawan sebagai pemegang kuasa dalam penyebaran informasi, tidak berlaku lagi. Wartawan tidak lagi menjadi satu-satunya broker informasi. Karena kemudian, orang lain yang bukan wartawan bisa bercerita di akun media sosialnya.
“Celakanya, anda harus melihat apa yang terjadi dan viral di media sosial untuk kemudian mengembangkan kejadian tersebut,” ujarnya.
Sebagai contoh peristiwa bom Thamrin, Jakarta. Tiga jam setelah kejadian, yang viral justru tukang satai yang berjualan tak jauh dari lokasi kejadian.
ADVERTISEMENT
“Artinya apa? Perhatian orang ternyata sudah bergeser. Bukan hal yang seharusnya esensial lagi. Bagaimana kita menyikapi sebagai seorang wartawan? Kita ingin menyampaikan hal yang penting dan perlu. Tapi, publik sudah tidak peduli lagi. Posisi Anda sebagai broker informasi, sebagai storyteller sudah tidak penting lagi. Itu akibat dari media sosial,” ungkapnya.
Melalui 1001 Start Up Media Online, kumparan ingin memfasilitasi pergeseran selera audience tersebut. Karena ketertarikan orang Papua dan Aceh berbeda.
Dalipin menegaskan agar media yang menjadi partner kumparan senantiasa menjunjung tinggi kredibilitas. Terutama dalam menyaring informasi melalui media sosial, di mana sebuah gambar rentan dengan penipuan dan hoaks. Maka, di sinilah pentingnya validasi, agar berita yang disampaikan sesuai fakta.
ADVERTISEMENT