Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Hanya sepekan sesudah dilantik menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM ) menggantikan Ignasius Jonan, Arifin Tasrif langsung mengumpulkan para pengembang energi baru terbarukan (EBT). Ia meminta masukan dari para pengusaha terkait aturan-aturan yang dinilai menghambat pengembangan EBT.
ADVERTISEMENT
Ketua Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA) Riza Husni mengungkapkan, para pengembang EBT menyampaikan beberapa keluhan kepada Arifin.
Salah satu yang menjadi keluhan utama pengusaha EBT adalah Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017 buatan pendahulu Arifin, yakni Ignasius Jonan.
Berdasarkan beleid ini, harga jual listrik EBT dari IPP ke PLN harus lebih rendah dari Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik setempat. Sebagai gambaran, BPP listrik di Jawa Barat saat ini Rp 866/kWh. Maka harga listrik dari pembangkit EBT di Jawa Barat harus di bawah angka itu.
Kata Riza, semua masukan dari pengembang EBT diterima dengan baik oleh Arifin Tasrif.
"Semuanya (masukan dari para pengembang EBT) sudah disetujui Pak Menteri. Menteri ESDM saat ini demokratis dan mau diskusi dua arah," kata Riza kepada kumparan, Senin (16/12).
ADVERTISEMENT
Peristiwa itu memperlihatkan jelasnya perbedaan warna kebijakan Arifin Tasrif dengan pendahulunya. Jika di era Jonan kepentingan investor kerap dikorbankan demi negara dan rakyat, Arifin Tasrif sebaliknya. Di subsektor migas, hal ini misalnya terlihat dari keputusan Arifin yang membuat skema Gross Split tak lagi wajib.
Skema Gross Split yang dicetuskan oleh Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM pendamping Jonan, diterapkan karena dianggap lebih menguntungkan negara. Sebab, semua biaya pencarian sumber migas hingga produksi ditanggung sendirian oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Sementara dalam konsep Cost Recovery, bagi hasil ke pemerintah lebih besar karena ikut menanggung biaya operasional dan produksi yang dilakukan KKKS.
Terkait perubahan ini, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto berpendapat, yang penting adalah peningkatan investasi.
ADVERTISEMENT
“Yang penting tujuannya adalah bagaimana meningkatkan investasi di Indonesia. Nah, untuk itu kalau investornya kita akan lihat apakah untuk menjadikan Gross Split itu menjadi halangan atau tidak. Intinya adalah agar investasi di hulu migas bisa naik,” kata Dwi di City Plaza, Jakarta, Rabu (15/1).
Kemudian di subsektor mineral dan batu bara (minerba), ada insentif yang disiapkan untuk perusahaan-perusahaan tambang batu bara, yaitu pembebasan royalti alias nol persen. Aturan tersebut masuk dalam Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka).
Pembebasan royalti tersebut rencananya akan diberikan pada perusahaan tambang batu bara yang melakukan hilirisasi, seperti mengolah batu bara menjadi dimethil ether (DME) alias gasifikasi batubara. DME dapat menggantikan LPG yang selama ini masih diimpor.
ADVERTISEMENT
Pengurangan royalti bagi pengusaha batu bara diamini oleh Arifin Tasrif. Tapi, Arifin enggan menyebutkan berapa besar pengurangan royaltinya.
"(Insentif) Royalti juga ada. Iya dong (dikurangi)," kata dia saat ditemui di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Kamis (30/1).
Jika pembebasan royalti untuk perusahaan tambang batu bara disetujui, maka setoran ke negara bakal berkurang. Sementara selama ini Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari batu bara mencapai puluhan triliun rupiah.
Pada 2018 saja, PNBP di sektor mineral dan batu bara (minerba) mencapai Rp 50 triliun yang sekitar 80 persen di antaranya berasal dari setoran pengusaha batu bara. Jika royalti ini dikurangi atau bahkan dinolkan, artinya pendapatan negara terpangkas.
Arifin juga merombak kebijakan Jonan di bidang kelistrikan serta energi terbarukan. Ia menyiapkan aturan baru terkait harga beli dari pembangkit listrik berbasis energi terbarukan (EBT) yang akan menggunakan skema feed in tariff untuk formula harga yang baru.
ADVERTISEMENT
Kebijakan baru ini akan menggantikan formula harga beli listrik dari pembangkit EBT saat ini dihitung berdasarkan biaya pokok penyediaan (BPP) yang ditetapkan PLN seperti tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017. Permen ESDM No. 50/2017 dibuat ketika Kementerian ESDM dipimpin oleh Ignasius Jonan.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM FX Sutijastoto menyatakan, hal ini dilakukan untuk menggenjot investasi di bidang pengembangan EBT.
"Kebijakan EBT akan diperbaiki supaya mampu menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi EBT melalu Perpres EBT dan merevisi Permen 50," ujarnya kepada kumparan, Senin (16/12).
Pembatasan Subsidi LPG 3 Kg
Berbeda dengan kebijakan-kebijakan ESDM bagi investor yang banyak memberi karpet merah alias kemudahan, layanan publik justru sebaliknya. Salah satu wacana paling kontroversial yang muncul di awal periode Arifin Tasrif, adalah penyaluran LPG 3 kg bersubsidi dengan skema tertutup.
ADVERTISEMENT
Artinya, yang disubsidi bukan lagi gas LPG 3 kg sebagai komoditas, melainkan masyarakat yang berhak menerima.
Subsidi diberikan pemerintah kepada penerima langsung dikirim ke rekening pribadi. Cara ini dilakukan agar penyaluran LPG 3 kg bersubsidi tepat sasaran. Sedangkan orang-orang yang dianggap mampu bakal dilarang membeli gas melon tersebut.
Selain itu, pembelian LPG 3 kg bersubsidi diwacanakan dibatasi menjadi hanya 3 tabung per bulan.
Arifin Tasrif memastikan, meskipun skema subsidi menjadi tertutup, harga LPG 3 kg tidak akan naik. Dia meminta masyarakat miskin tak perlu khawatir terkait harga LPG 3 kg.
"Kami menjelaskan di sini bahwa tidak ada statement resmi mengenai kenaikan harga LPG . Mungkin ada terlontar (isu kenaikan harga LPG), tapi kita sudah anulir,” katanya.
ADVERTISEMENT