Apindo Jelang Penetapan UMP 2025: Jangan Upah Naik Tinggi tapi Perusahaan Rugi

31 Oktober 2024 8:12 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Massa buruh berdemo menuntut UMP 2024 naik 15 persen di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (21/11/2023). Foto: Annisa Thahira Madina/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Massa buruh berdemo menuntut UMP 2024 naik 15 persen di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (21/11/2023). Foto: Annisa Thahira Madina/kumparan
ADVERTISEMENT
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta semua pemangku kepentingan bersikap bijaksana dalam menyikapi pembahasan besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 yang akan diputuskan pemerintah pada November. Apindo menilai penetapan UMP 2025 bisa menentukan minat investasi asing di tengah upaya pemerintah mencari suntikan dana untuk melanjutkan pembangunan.
ADVERTISEMENT
Ketua Apindo Bidang Ketenagakerjaan, Bob Azam, menganggap Pemerintah Indonesia telah berhasil merumuskan formula penghitungan UMP yang adil bagi pekerja dan pengusaha lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan. PP tersebut merupakan revisi dari dua aturan terdahulu yaitu PP Nomor 36 Tahun 2021 dan PP Nomor 78 Tahun 2015.
“Dalam menetapkan UMP yang baru sebaiknya tetap gunakan formula PP 51, jangan berubah lagi formulanya. Karena kepastian hukum itu bukan hanya penting bagi dunia usaha, tetapi juga untuk pekerja dan para investor juga,” ujar Bob melalui keterangan tertulis, Kamis (31/10).
Bob mencontohkan apabila ada investor asing yang berminat menanamkan modal di Indonesia pasti akan menghitung berapa besar biaya operasional, termasuk gaji pekerja minimal selama 5 tahun ke depan. Menurutnya, jika rumusan penghitungan penetapan UMP berubah setiap tahun, maka bisa memicu investor asing lebih memilih berinvestasi di negara tetangga.
ADVERTISEMENT
“Bagaimana cara menghitung labour cost selama 5 tahun ke depan kalau tiap tahun ditetapkan semau-maunya. Kalau upah dinaikkan tinggi dalam situasi permintaan yang lemah saat ini, mustahil bagi perusahaan menaikkan harga jual produknya," ujar Bob.
"Opsinya adalah menekan margin. Tetapi kalau margin dikurangi terlalu besar, investor tidak akan masuk. Mereka akan menghitung potensi margin lebih besar jika investasi di Vietnam misalnya. Jadi ini semua harus kita pertimbangkan,” tambahnya.

Dorong Perkuat Bipartit

Bob memastikan Apindo mendukung upaya Presiden Prabowo Subianto memperkuat perekonomian nasional dengan prinsip ekonomi kerakyatan. Sebagai bagian dari rakyat, Apindo sependapat kalau buruh juga menjadi target yang perlu dinaikkan daya belinya agar ekonomi negara berputar lebih kencang.
Bob juga tidak mempermasalahkan aksi demonstrasi sejumlah kelompok buruh menuntut kenaikan UMP sebesar 8 persen sampai 10 persen.
ADVERTISEMENT
“Dari sisi ini kita sangat setuju, bahwa harus ditingkatkan pendapatannya. Tetapi yang sifatnya sustain, jangan sampai sekarang naik tinggi tetapi kemudian kehilangan pekerjaan karena perusahaannya rugi. Kenaikan yang tidak sustain itu adalah yang kenaikan UMP-nya melebihi produktivitas," ungkap Bob.
"Suatu perusahaan katakanlah produktivitasnya 5 persen, lalu upahnya naik 7 persen, selisih 2 persennya itu pasti akan dilempar ke harga jual produk. Jadi kalau kita naikkan tinggi upah buruh, lalu harga-harga ikutan naik, ujungnya tidak ada artinya,” tambahnya.
Menurut Bob, UMP 2025 yang ditetapkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) tidak bisa diterapkan secara merata di semua daerah. Sebab kondisi ekonomi dan kemampuan perusahaan di tiap daerah berbeda.
Untuk itu, Apindo terus mendorong seluruh anggotanya untuk terus memperkuat hubungan bipartit dengan para pekerja demi mendapatkan titik temu besaran upah yang ideal di setiap perusahaan.
ADVERTISEMENT
“Komunikasi bipartit bisa menjadi solusi soal besaran upah ini dengan menyepakati Struktur Upah dan Skala Upah (SUSU). Kami mendorong anggota Apindo untuk membangun SUSU berdasarkan kompetensi. Caranya setiap perusahaan berdiskusi dengan serikat pekerja untuk membangun struktur skala upah. Nantinya serikat akan memberi masukan dan pendapat kepada perusahaan sampai terjadi kesepakatan. Jadi jangan hanya fokus pada UMP nasional saja, tetapi di tingkat perusahaan juga harus ada dialog,” terang Bob.
SUSU tersebut nantinya akan berbeda di setiap perusahaan sesuai dengan kemampuannya masing-masing. “Kalau keuangan perusahaannya bagus, lalu profesionalisme pekerjanya bagus silakan bisa dibicarakan. Tetapi kalau perusahaannya tidak bagus, mungkin akan menahan diri,” ujar Bob.
Bob menjelaskan di bidang industri dikenal istilah Kaitz index, yaitu salah satu metode internasional yang digunakan untuk mengukur tinggi rendahnya upah minimum di suatu wilayah. Caranya adalah dengan membandingkan upah minimum yang ditetapkan dengan upah rata-rata riil yang diterima pekerja di daerah tersebut.
ADVERTISEMENT
Bob menyebut angka ideal Kaitz index adalah 0,4 sampai 0,6 atau 40 persen sampai 60 persen upah rata-rata dibandingkan dengan upah minimum.
“Di Indonesia angka indeksnya itu hampir 1,2. Artinya upah minimum yang ditetapkan malah lebih tinggi dari upah rata-rata yang riil diterima pekerja. Karena masalahnya ada di pembahasan bipartit yang tidak jalan. Struktur terkecil dari hubungan industrial di Indonesia tidak terbangun, akibatnya jadi titik negatif investasi negara kita. Tanpa adanya investasi dari luar mana bisa, karena investasi itu perlu konsistensi regulasi,” tutur Bob.