Aprindo Ngeluh Sering Kalah Lawan Barang Ilegal: Masyarakat Belinya ke Thrifting

14 Agustus 2024 14:05 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey menjawab pertanyaan wartawan usai acara Gambir Trade Talk 15 di Jakarta Pusat (14/8/2024). Foto: Argya D. Maheswara/Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey menjawab pertanyaan wartawan usai acara Gambir Trade Talk 15 di Jakarta Pusat (14/8/2024). Foto: Argya D. Maheswara/Kumparan
ADVERTISEMENT
Pengusaha ritel mengeluhkan peralihan minat masyarakat yang memilih membeli produk impor bekas atau thrifting dibanding berbelanja di ritel modern. Padahal ritel modern menaati aturan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey menuturkan peralihan minat masyarakat ini membuat pelaku usaha ritel kalah saing.
"Kita seringkali kalah karena barang ilegal, barang fake. Masyarakat belinya ke thrifting, tidak lagi beli ke ritel yang bayar pajak dan mempekerjakan tenaga kerja dan PPN, malah thrifting yang tidak pakai pajak," kata Roy dalam diskusi Gambir Trade Talk 15 di Jakarta Pusat (14/8).
Roy melihat persaingan antara produk thrifting dan barang yang dijajakan di ritel modern tidak seimbang. "Ini yang kita seringkali risau, kita kalah karena dengan ilegal," ujar Roy.
Suasana kegiatan belanja baju bekas atau thrifting di Pasar Senen Jaya, Jakarta Pusat, Minggu (7/7/2024). Foto: Fariza Rizky Ananda/kumparan
Roy menyebut barang ilegal tersebut tidak hanya dijual secara offline, tetapi banyak juga yang dijajakan secara online.
ADVERTISEMENT
"Ini tentunya kita berharap level of the same playing tidak terjadi di offline, tapi juga di online karena tentunya lebih mudah memasukkan yang ilegal dari online karena enggak keliatan orang yang jual dan tokonya," jelas Roy.
Roy menegaskan harus ada pengawasan barang-barang impor ilegal di pasar Tanah Air, baik yang masuk melalui pintu masuk resmi seperti pelabuhan besar, bandara, maupun pelabuhan tikus.
"Ini yang perlu diperdalam dikaji ketika kita masih menjadi negara konsumsi belum menjadi negara eksportir," tutur Roy.