Bakrie Masih Tunggak Utang Lapindo Lebih dari Rp 1,5 T, Sudah Jatuh Tempo 2019

28 Januari 2022 16:32 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Endapan lumpur Lapindo mengering di kolam penampungan di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu (29/5/2021). Foto: Umarul Faruq/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Endapan lumpur Lapindo mengering di kolam penampungan di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu (29/5/2021). Foto: Umarul Faruq/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Ditjen Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih menunggu Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya, bisnis milik keluarga Bakrie, melunasi utang dana talangan penanggulangan kasus lumpur Sidoarjo yang telah jatuh tempo pada 10 Juli 2019.
ADVERTISEMENT
Direktur Jenderal Kekayaan Negara, Rionald Silaban, mengatakan total utang yang masih belum dibayarkan Lapindo Brantas diperkirakan sudah lebih dari Rp 1,5 triliun. Perhitungan tersebut sudah ditambah denda dan bunganya.
"Ada hasil BPK saya lupa angkanya, yang pasti awalnya pemerintah waktu tahun 2014-2015 sekitar Rp 300 miliar, sudah jatuh tempo. Berikut bunga dan denda, harusnya sekarang sudah di atas Rp 1,5 triliun," ujar Ronald dalam Bincang DJKN secara virtual, Jumat (28/1).
Dia pun mengungkapkan, pihak Lapindo Brantas dan Minarak sempat menawarkan aset berupa tanah untuk membayar utang kepada pemerintah. Namun, pihak DJKN menolak karena harus mempertimbangkan nilai asetnya.
"Pihak yang bersangkutan menyatakan bahwa tolong diambil tanahnya. Kami di DJKN tidak serta merta begitu, betul ada perjanjian yang menyatakan kejaminan, tapi yang diutamakan pembayarannya," jelas Ronald.
ADVERTISEMENT
"Manakala kemudian pihak yang bersangkutan tidak bisa bayar dan harus menyerahkan jaminan, kita lihat dulu jaminannya ada nilainya atau tidak," lanjutnya.
Sejumlah petugas melihat tanggul penahan lumpur Porong yang ambles di titik 67 Gempol Sari, Tanggulangin, Sidoarjo. Foto: ANTARA FOTO/Umarul Faruq
Adapun Ronald menuturkan, penilaian terhadap nilai jaminan berupa aset tanah tersebut sudah dilakukan. "Penilai sudah bekerja dan penilaian sudah dilakukan. Ini yang sedang kita lihat," tuturnya.
Pada dasarnya, Ronald mengatakan pemerintah melalui DJKN Kementerian Keuangan akan terus mengawasi kasus tunggakan utang oleh Lapindo dan Minarak ini, bersama institusi lain seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Untuk Lapindo pada dasarnya kami di DJKN akan melakukan sesuai ketentuan, nanti jumlahnya ada di Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK itu berapa, semakin lama, dendanya tetap dihitung," imbuhnya.
Sebelumnya, berdasarkan hasil audit BPK 2019, pemerintah mencatat hingga 31 Desember 2019 total utang Lapindo Brantas dan Minarak kepada pemerintah sebesar Rp 1,91 triliun.
Lumpur Lapindo. Foto: Antara/Eric Ireng
Secara rinci, pokok utang senilai Rp 773,38 miliar, bunga Rp 163,95 miliar, dan denda Rp 981,42 miliar. Sementara pembayaran baru dilakukan pada Desember 2018 sebesar Rp 5 miliar.
ADVERTISEMENT
Sengkarut utang tersebut bermula pada 10 Juli 2015, pemerintah dan Lapindo Brantas serta Minarak membuat perjanjian mengenai pinjaman dana antisipasi untuk melunasi pembelian tanah dan bangunan warga korban luapan lumpur Sidoarjo.
Nilai pinjaman yang akan diberikan berdasarkan perjanjian tersebut adalah Rp 781,68 miliar, namun yang terealisasi hanya Rp 773,38 miliar. Perjanjian tersebut berlaku selama empat tahun dari 10 Juli 2015 hingga 10 Juli 2019.
Pengembalian pinjaman dilakukan dengan penambahan bunga sebesar 4,8 persen per tahun beserta denda. Apabila tidak dapat mengembalikan sesuai jadwal dan/atau melunasi pinjaman pada akhir perjanjian, maka dikenakan denda sebesar 1/1.000 per hari dari nilai pinjaman.