Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Beban Berat KAI di Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung
18 November 2022 12:55 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Beban berat pun harus ditanggung PT KAI (Persero) sebagai pemimpin konsorsium BUMN di proyek ini sebab biaya terus bengkak demi menyelesaikan jalanan rel mulus sebelum Juni 2023.
Proyek ini, yang semula membutuhkan dana USD 6,07 miliar, bengkak jadi USD 7,5 miliar. Nilainya setara Rp 112 triliun (kurs Rp 15.000 per dolar AS).
"KAI dipaksa, tadinya WIKA (yang pegang proyek ini) sudah megap-megap. KAI juga harus menggarap LRT Jabodebek. Sebelumnya dipaksa untuk jadi operator kereta bandara. KAI akan babak belur," ujarnya kepada kumparan, Jumat (18/11).
Proyek yang dimulai sejak 2015 dan pembangunannya 2016 ini semula dipimpin oleh PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) dalam konsorsium PT PSBI (Pilar Sinergi BUMN Indonesia). Kala itu, WIKA mengempit 38 persen saham PSBI, KAI 25 persen, PTPN VIII 25 persen, dan Jasa Marga 12 persen.
ADVERTISEMENT
PSBI memiliki 60 persen saham di PT KCIC (Kereta Cepat Indonesia China), sedangkan saham 40 persen dimiliki konsorsium China, Beijing Yawan HSR Co Ltd.
Karena WIKA tak sanggup, mulai 2019, KAI ditunjuk menjadi leaders di proyek ini. Pertimbangannya, perusahaan merupakan operator dari kereta api di Indonesia.
Total biaya kereta cepat ini yang disepakati di 2015 adalah USD 6,07 miliar, setelah dulu USD 5 miliar sekian. Ekuitas 25 persen dari porsi pembiayaan, yang 75 persen pinjaman dari CDB (China Development Bank) dengan tenor 40 tahun dan masa tenggang 10 tahun. Dari total pembiayaan USD 6 miliar, sebesar USD 4,5 miliar dari pinjaman CDB, sisanya USD 1,5 miliar dari ekuitas. Kini, proyek itu bengkak jadi USD 7,5 miliar.
Karena itu, Direktur Utama KAI Didiek Haryanto ngotot agar pemerintah segera mencairkan Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk KAI Rp 3,2 triliun.
ADVERTISEMENT
Kas KCIC Mulai Menipis
Didiek mengungkapkan terdapat 4 alasan mengapa pemerintah harus segera mencairkan PMN. Pertama, kondisi cashflow PT KCIC sudah menipis, sehingga butuh bantuan modal.
Kedua, persetujuan PMN kepada PT KAI sebesar Rp 3,2 triliun untuk memenuhi porsi 25 persen ekuitas pihak Indonesia atau cost overrun proyek KCJB. Dalam rangka menjaga keberlanjutan pelaksanaan proyek strategis nasional KCJB sesuai dengan dukungan pemerintah dalam Perpres 93 tahun 2021.
Ketiga, pemberian PMN juga dimaksudkan agara kondisi cashflow para kontraktor terjaga. Sehingga proses pengerjaan proyek KCJB tidak molor.
Kemudian, struktur permodalan KAI sebagai lead konsorsium terbatas dalam mendukung penugasan PSN dan saat ini masih dalam proses recovery dari dampak pandemi. Di saat yang bersamaan KAI juga mendapatkan penugasan untuk menyelesaikan dua PSN yakni proyek LRT Jabodebek dan proyek KCJB," jelas Didiek.
ADVERTISEMENT
Didiek mengaku PT KAI memiliki keterbatasan dalam finansial untuk mendapatkan pendanaan. Baik itu dalam bentuk kerja sama strategis atau investasi guna pengembangan.
"Karena adanya dampak pandemi dengan eksposur dan risiko proyek KCJB yang sangat high profile, jumlah struktur institusi keuangan yang ready mau untuk membiayai kebutuhan pendanaan sangat terbatas," tandanya.
Baru Bisa Untung 2061
Dengan bengkaknya biaya, proyek ini pun bahkan baru bisa untung 2061. Hal ini terungkap dari Direktur Utama KCIC Dwiyana Slamet Riyadi yang menyatakan, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung baru akan mencetak untung dalam 38 tahun sejak beroperasi.
Adapun ditargetkan mega proyek itu akan selesai dan mulai beroperasi pada Juni 2023. Artinya, KCIC baru akan merasa untung pada Juni 2061.
“Perhitungan ini merupakan hitungan oleh konsultan financial model dalam fs (feasible study) terakhir ini,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Dwiyana menyebut, perhitungan keuntungan itu juga sudah termasuk tarif tertinggi Rp 250.000 selama 3 tahun. Namun, dirinya menyatakan, keuntungan di 2061 tersebut tidak termasuk pengelolaan lahan sekitar untuk Transit Oriented Development (TOD).
“Kami tidak lagi memperhitungkan lagi revenue dari TOD karena memang dana yang kami miliki itu fokus untuk konstruksi,” jelas dia.