Benarkah Gen Z Susah Cari Kerja?

4 Agustus 2024 10:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana antrean lowongan pekerjaan yang dipadati anak-anak muda Gen Z di Mal Depok Town Square dok: Widya/Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana antrean lowongan pekerjaan yang dipadati anak-anak muda Gen Z di Mal Depok Town Square dok: Widya/Kumparan
Ratusan pencari kerja berjejer memadati Mal Depok Town Square (Detos) pada Senin (29/7). Antrean mengular bermeter-meter di pusat perbelanjaan yang berada di Jalan Margonda Raya, Kota Depok, Jawa Barat itu.
Mal yang sudah mulai sepi pengunjung itu kini mendadak ramai. Mereka yang didominasi generasi Z (Gen Z) datang bukan untuk berbelanja, melainkan untuk mencari kerja. Bursa kerja (job fair) yang digelar oleh Disnaker Kota Depok itu diikuti 40 perusahaan dari berbagai sektor industri.
Mereka tampak masih berusaha tersenyum, meski sebagian besar tengah gelisah menunggu pekerjaan.
Kegelisahan itu dirasakan oleh Fitri (22 tahun), satu dari ratusan orang yang mengantre mencoba peruntungan. Kepada kumparan, Fitri mengaku sudah dua tahun menganggur. Hingga kini, belum ada titik terang dalam pencariannya.
"Cari kerja rada susah zaman sekarang," ujar Fitri.
Fitri menyadari kondisi ekonomi yang tidak baik-baik saja beberapa tahun terakhir, membuat lapangan pekerjaan semakin surut.
Sejumlah pencari kerja mencari informasi lowongan pekerjaan dalam Pameran Bursa Kerja di Stadion Gelora Bung Karno, Selasa (4/7/2023). Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Usai adanya wabah COVID-19 selama hampir 3 tahun, kondisi ini diperparah dengan fenomena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Ia makin merasa pesimis lantaran juga mesti bersaing dengan lulusan sarjana yang tiap tahun bertambah.
"Jadi nambah lagi, nambah lagi [pesaingnya]. persaingan [sekarang semakin] ketat," keluh Fitri.
Bila Fitri sudah dua tahun menganggur, Intan (23 tahun) melangkahkan kakinya ke Detos lantaran sudah 3 bulan belum punya pekerjaan. Ia sudah ngalor-ngidul untuk melamar pekerjaan ke puluhan perusahaan.
Namun, setiap kali surat lamaran kerja Intan terkirim, baru satu perusahaan yang memanggilnya. Intan sempat mendapat panggilan wawancara dari salah satu perusahaan FnB di Jakarta pada Juni 2024.
Hanya saja menurutnya, ada sedikit kesalahan teknis dengan pihak Human Capital perusahaan yang membuatnya tak kunjung dipanggil kembali. Ia menduga, minimnya pengalaman membuatnya tidak berhasil bersaing dengan pekerja lainnya.
"Sementara untuk kita yang baru lulus tahun ini kadang enggak punya pengalaman [yang dibutuhkan] jadi ketolaknya di situ-situ aja," imbuhnya.
Antrean pencari kerja yang digelar Pemprov DKI Jakarta di Thamrin City, Jakarta, Selasa (16/5/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Sementara Guntur (25 tahun) mengaku sudah beberapa pekan terakhir sibuk mencari pekerjaan. Lulusan SMK itu masih menganggur lantaran merasa belum ada tawaran pekerjaan sesuai harapannya.
Guntur (25) turut menceritakan pengalamannya mencari kerja dalam beberapa pekan terakhir. Ia merupakan lulusan SMK yang merasa belum ada tawaran pekerjaan yang sesuai dengan keinginannya.
Ia sempat mendapat tawaran untuk bekerja sebagai staff di salah satu restoran Jepang. Namun, ia enggan menerima tawaran pekerjaan tersebut karena gaji yang tak sesuai dengan harapannya.
"Mungkin karena lokasinya dan gaji tidak sesuai, jadi enggak diambil [pekerjaannya]," kata dia.
Guntur berharap agar lulusan SMK diberikan kesempatan untuk mencari kerja terlebih dahulu sebelum melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, terutama untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Cerita ketiganya merupakan sebagian kecil kondisi yang dialami jutaan Gen Z yang saat ini sedang menganggur di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2024, sebanyak 3.618.300 kelompok Gen Z usia 15-24 tahun merupakan pengangguran.
Secara rinci, kelompok usia 15-19 tahun yang menganggur sebanyak 1.034.119 orang. Lalu untuk kelompok usia 20-24 sebanyak 2.584.181 orang menganggur.
Sebagai pembanding, Gen Z kelompok usia 15-19 tahun yang saat ini telah bekerja sebanyak 4.793.947 tenaga kerja atau sekitar 82,26 persen dari total angkatan kerja sebesar 5.828.066 orang.
Sementara itu pada Gen Z pada kelompok 20-24 tahun yang telah bekerja sebanyak 13.629.983 orang atau sekitar 84,06 persen dari total angkatan kerja sebanyak 16.214.164 orang.
Gen Z Lebih Sulit Cari Kerja
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, membeberkan analisisnya mengenai lapangan pekerjaan yang semakin sempit.
Menurutnya, perkembangan teknologi membuat pergeseran sektor pekerja formal ke sektor nonformal. Pergeseran ini menjadi salah satu indikator menyempitnya lapangan pekerjaan yang ada saat ini.
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, di Hotel Mercure Sabang, Kamis (25/1/2023). Foto: Fariza Rizky Ananda/kumparan
"Pertama, lapangan kerja yang terbuka khususnya di sektor digital makin dominan pekerjaan informal tanpa kepastian kerja bahkan dengan upah yang minim," jelas Bhima.
Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS beberapa tahun terakhir, ada tren penurunan penciptaan lapangan pekerjaan di sektor formal.
Selama 2009-2014, serapan tenaga kerja di sektor formal ada sebanyak 15,6 juta. Jumlah itu menurun menjadi 8,5 juta orang pada 2014-2019, dan turun lagi menjadi tinggal 2 juta orang pada periode 2019 hingga 2024.
Adapun pada Februari 2023 penduduk yang bekerja pada kegiatan informal sebanyak 83,34 juta orang (60,12 persen), sedangkan yang bekerja pada kegiatan formal sebanyak 55,29 juta orang (39,88 persen).
Analisis lain dari sukarnya pencari kerja untuk meraih pekerjaan karena kondisi perekonomian yang belum pulih setelah pandemi COVID-19.
Pemulihan ekonomi yang belum kembali normal berdampak kepada gap antara lapangan pekerjaan yang tersedia dengan pembentukan angkatan kerja usia muda yang terus bertambah setiap tahunnya.
"Gen Z mengalami beberapa tekanan dalam mencari kerja," kata Bhima.
Beberapa hal lain yang turut mempengaruhi semakin berkurangnya lapangan pekerjaan yaitu menurunnya kinerja sektor industri. Banyak industri padat karya tutup.
Bhima juga menyoroti biaya kuliah yang semakin mahal setiap tahunnya yang tidak diimbangi dengan upah pekerjaan.
ilustrasi PHK. Foto: Shutterstock
Head of PR, Social & Content, Jobstreet by SEEK, Adham Somantrie, menjelaskan dari sudut pandang perusahaan dalam kasus ini. Menurutnya, perusahaan memiliki perhitungan sendiri dalam menghitung kebutuhan tenaga kerja.
Hanya saja, dalam beberapa kasus memang ada ketidaksesuaian antara kebutuhan dan ketersediaan kemampuan yang ditawarkan pelamar kerja.
"Dan juga sebaliknya, pencari kerja tidak menemukan lowongan kerja yang sesuai dengan keterampilannya," ujar Adham.
Penyebab ketidaksesuaian antara kebutuhan perusahaan dengan kemampuan yang ditawarkan angkatan kerja yaitu pengalaman kerja yang belum matang. Menariknya, Adham mengakui jika Gen Z pada umumnya lebih sulit mendapatkan pekerjaan dibanding generasi sebelumnya.
"Jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya yang saat ini memiliki lebih banyak pengalaman kerja dan memiliki pemahaman yang lebih mendalam terhadap dunia kerja," jelasnya.