BRIN: Banyak Pabrik China Bangun Industri Tenaga Surya di Indonesia

13 Agustus 2024 19:56 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 26,8 Megawatt Peak, yang merupakan ground mounted Solar PV terbesar di Indonesia yang digunakan untuk operasional pertambangan. Foto: Dok. AMMAN
zoom-in-whitePerbesar
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 26,8 Megawatt Peak, yang merupakan ground mounted Solar PV terbesar di Indonesia yang digunakan untuk operasional pertambangan. Foto: Dok. AMMAN
ADVERTISEMENT
Indonesia disebut banyak kedatangan pabrik industri tenaga surya dari China. Perekayasa Ahli Utama Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi, Badan Riset dan lnovasi Nasional (BRIN) Arya Rezavidi mengatakan hal ini menjadi fenomena menarik, sebab Indonesia memiliki pasar yang kecil untuk sektor ini.
ADVERTISEMENT
"Dalam beberapa tahun terakhir ini banyak industri dari China mulai bangun di Indonesia. Ini fenomena menarik karena kalau kita lihat lokal market kan tidak terlalu berkembang," kata Arya dalam diskusi Membangun Rantai Pasokan Tenaga Surya di Indonesia untuk mendukung transisi energi yang cepat dan industri hijau oleh Institute for Essential Service Reform (IESR) di Cikini, Jakarta Pusat Selasa (13/8).
Meski tidak menjelaskan pabrik-pabrik asal China tersebut, tapi menurutnya, pabrik-pabrik asal Negeri Tirai Bambu itu memiliki kapasitas yang besar.
"Industri dari China ini besar-besar, karena sekarang ini untuk kapasitas harus besar, karena membangun industri dengan kapasitas kecil secara ekonomis tidak akan baik," tambah Arya.
Analis Sistem Ketenagakerjaan dan Energi Terbarukan Institute for Essential Service Reform (IESR) IESR, Alvin Putra S dalam Media Briefing Indonesia Solar Summit di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (13/8/2024). Foto: Argya Maheswara/kumparan
Di sisi lain, selain market yang kecil, Arya juga menyoroti industri manufaktur lokal di sektor ini yang tidak tumbuh.
ADVERTISEMENT
"Untuk industri, kenyataan manufaktur fotovoltaik ini tidak tumbuh seperti yang diharapkan, apalagi Permen dari ESDM sudah 6 atau 7 tahun yang lalu, tapi industrinya masih gitu-gitu aja," imbuh Arya.
Arya memandang, sebenarnya Indonesia dapat memiliki pasar industri tenaga surya yang jumbo jika pemerintah konsisten membuat aturan yang mendukung sektor bisnis. Alasannya, regulasi-regulasi yang diteken pemerintah seringkali menjadi hambatan bagi pelaku usaha untuk mengembangkan bisnisnya, termasuk gelontoran investasi yang masuk.
"Kalau dari sisi potensi market Indonesia paling besar di antara negara ASEAN, tapi kenapa sekarang masih kecil, itu yang harus dipertanyakan persoalannya banyak sekali regulasi-regulasi yang justru menghambat sendiri," tutup Arya.