Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Cara Hadapi Milenial di Kantor versi CEO GE dan Mantan Dirut Citilink
7 November 2018 21:28 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
Dunia yang kian maju dengan teknologi melahirkan generasi milenial. Anak-anak muda ini berada di usia 23 tahun hingga 35 tahun. Mereka ada, nyata, dan tersebar di dunia kerja.
ADVERTISEMENT
Bagaimana ya para bos menghadapi generasi milenial di dunia kerja?
CEO General Electric Indonesia Handry Satriago mengatakan, pada dasarnya dia tidak menyukai istilah milenial. Sebab, itu terasa mengkotak-kotakkan generasi yang disesuaikan dengan umur. Padahal, setiap generasi pasti berbeda dan itu adalah sebuah keniscayaan.
Karena itu, dalam membangun kerja dengan milenial di perusahaan yang selama ini sudah puluhan tahun dia lakoni, Handry mengatakan, tidak ada batas antara dirinya dan para karyawan.
Sebagai contoh, dia menyebut di kantor GE, nyaris tidak ada ruangan yang terpisah. Tapi, semua karyawan bekerja di tempat yang luas.
“Paling hanya ada satu ruangan kecil (untuk dirinya) sekitar 2x2 m setelah sekretaris saya meminta harus ada ruangan untuk saya,” kata Handry dalam acara CEO Talks Beyond Theory about Leading Millenials di Epicentrum, Jakarta, Rabu (7/11).
Lebih lanjut, Handry juga tidak suka dengan istilah anak buah. Menurutnya, itu hanya terjadi saat zaman Fir’aun. Dia lebih suka menyebut karyawannya sebagai tim. Dengan sebutan itu, jika karyawannya sukses, maka atasannya pun sama. Pun sebaliknya.
ADVERTISEMENT
“Lagi pula, istilah anak buah enggak ada dalam bahasa Inggris. Jadi leaders itu tidak menyebut anak buah tapi kita bekerja dalam tim. We have create the team,” lanjutnya.
Dia pun lebih menyukai dunia kerja yang dibangun bukan dengan karyawan yang hanya bisa mengatakan “ya” pada atasannya. Bukan berarti tidak menyukai karyawan yang penurut tapi budaya-budaya kritis harus dibangun di dalam dunia kerja. Sebab, masing-masing dalam karyawan itu sebenarnya adalah leaders bagi diri mereka sendiri.
“Leaders itu beda dengan doers. Leaders punya pendapat. Diterima atau enggak itu nomor dua. Tim saya harus punya itu. Dilatih,” tutur dia.
Sementara Mantan Direktur Utama Citilink M Arif Wibowo mengatakan, saat dia masih menjabat sebagai CEO anak usaha PT Garuda Indonesia Tbk ini, melihat milenial sebagai aset.
ADVERTISEMENT
Kala itu dia secara khusus memang mencari milenial untuk branding nama Citilink. Sebagai perusahaan, Citilink menjemput bola dengan merekrut para milenial terutama yang memang punya talenta.
“Saya butuh anak yang bantu hype Citilink. Saya ambil pakai anak dari UK. Jadi untuk bisa narik anak ini, saya minta terbang dari Jakarta ke Depansar. Terus akan buat apa ini Citilink ke depan. Ini anak baru lulus. Saya invite karena dia punya potensi besar,” kata dia.
Untuk bisa memahami pekerja milenial, kata Arif, ada beberapa poin yang harus dipahami pemimpin perusahaan. Pertama, adalah kebebasan. Milenial menurutnya tidak suka dikekang, terutama soal ide-ide kreatif.
“Artinya setiap anak berkreasi. Dan mereka sangat native dengan digital. Yang penting kita sebagai coach mesti jagain dia (milenial). Kita jaga dari sisi intergritasnya biar engagement ke pekerjannya,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Terakhir, adalah komunikasinya. Menurut Arif, cara berkomunikasi dengan milenial harus clear dan direct. Managemen komunikasi yang kuno akan membuat milenial tidak tahan.
“Jadi kita jangan cuma berasumsi. Beri kebebasan juga. Jangan terlalu banyak dicekokin. Tapi ingat juga, kita harus tahu awalnya anak ini karakternya seperti apa. Terakhir, kita dorong dia jadi greatness (atas karya yang dia buat),” ungkapnya.