Darmin Nasution Kritisi Revisi Aturan Pajak hingga PPN Sembako: Terlalu Luas!

7 Juli 2021 11:56 WIB
·
waktu baca 3 menit
clock
Diperbarui 30 September 2021 11:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menko Perekonomian, Darmin Nasution saat meresmikan beroperasinya Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sorong di Papua, Barat. Foto: Dok. Kemenko Perekonomian
zoom-in-whitePerbesar
Menko Perekonomian, Darmin Nasution saat meresmikan beroperasinya Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sorong di Papua, Barat. Foto: Dok. Kemenko Perekonomian
ADVERTISEMENT
Mantan Dirjen Pajak, Darmin Nasution, mengkritisi rencana pemerintah yang akan merevisi Rancangan Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Menurutnya, cakupan peraturan tersebut sangat luas dan tak substansial.
ADVERTISEMENT
Ia menyebut, dalam sejarahnya, RUU KUP itu hanya mengatur tentang hukum perpajakan. Di dalamnya, tak ada aturan mengenai Pajak Penghasilan (PPh) maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
"Saya kira nama KUP itu dalam sejarah perpajakan di Indonesia, KUP itu benar-benar hanya tentang hukum acara perpajakan, dia tidak cover PPh, PPN. Ini nanti bisa jadi namanya saya sarankan UU Konsolidasi Perpajakan atau Harmonisasi Peraturan Perpajakan," ujar Darmin saat rapat dengar pendapat umum dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (7/7).
Dalam RUU KUP, pemerintah berencana mengubah sejumlah aturan pajak. Mulai dari menaikkan tarif PPh bagi penghasilan orang pribadi di atas Rp 5 miliar setahun menjadi 35 persen, menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen, pengenaan PPN bagi kebutuhan pokok atau sembako dan pendidikan, pengenaan pajak karbon, hingga rencana tax amnesty jilid II.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, tak elok memasukkan seluruh rencana itu dalam KUP. Dia pun merekomendasikan kepada Komisi XI maupun pemerintah untuk menggantinya menjadi UU Konsolidasi Perpajakan atau Harmonisasi Perpajakan.
"Itu idenya dari Omnibus Law perpajakan juga. Harusnya ya konsolidasi atau harmonisasi, karena ada beberapa amandemen sekaligus," jelasnya.
Mantan Menko Perekonomian itu pun memahami sulitnya kondisi saat ini bagi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak. Untuk itu, dia pun menyarankan agar pemerintah hanya menyasar sektor yang dinilai paling ampuh untuk mendorong penerimaan pajak.
Berdasarkan pengalamannya menjadi pimpinan otoritas pajak tahun 2006-2009, pemerintah bisa menghilangkan tarif PPh Final bagi sektor konstruksi dan real estat. Kedua sektor ini jika dikembalikan dengan tarif normal, akan meningkatkan penerimaan secara drastis.
ADVERTISEMENT
"Saya sarankan sektor konstruksi dan real estat supaya dinormalkan saja PPh-nya, pasti akan naik (penerimaan). Walaupun pasti akan ada dampaknya, tapi enggak akan proporsional dampaknya ke biaya dan harga real estat maupun infrastruktur. Tapi penerimaan justru akan naik lebih cepat jika ini dilakukan," jelas Darmin.
Tak hanya itu, mantan Gubernur Bank Indonesia itu pun menyarankan agar pemerintah lebih hati-hati dalam menyasar wajib pajak. Salah satunya dengan pengenaan 'benchmark' pada PPh. Hal ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan data atau core tax yang telah dimiliki Ditjen Pajak.
Menurut Darmin, benchmark tersebut sudah dipakai di negara-negara maju seperti AS dan Eropa. Sehingga, pemerintah tak lagi pusing menyasar seluruh wajib pajak.
"Misalnya dia ngaku general manager di perbankan, maka pemerintah tentukan benchmark di sana, gaji GM di bank berapa, bayar pajaknya berapa. Kalau dia di atas benchmark, ya tidak usah diperiksa, itu menurut saya sangat efektif," kata Darmin.
ADVERTISEMENT
"Kalau di atas benchmark enggak usah diperiksa, pun udah bagus bayar pajaknya. Orang baik kok disusahin?" pungkas Darmin.