Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Tersedianya sarana transportasi yang memadai, jadi hal penting yang tak bisa diabaikan. Tak terkecuali, angkutan bus yang aman dan nyaman seperti halnya Transjakarta . Tak hanya TJ (Transjakarta ), Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebetulnya juga telah mengoperasikan bus gratis yang sejauh ini menjadi feeder bagi penumpang di Halte Polda Metro yang saat ini masih ada revitalisasi Jembatan Penyeberangan Orang (JPO).
ADVERTISEMENT
Seorang penumpang bus gratis, Safira mengatakan dirinya yang sehari-hari bekerja di kawasan SCBD Jakarta merasa terbantu dengan adanya feeder itu. Di samping itu, ia juga merasakan bus itu nyaman.
"Perbanyak bus seperti ini dong, nyaman sih, mirip-mirip Transjakarta yang biasa emang, ada CCTV dan AC-nya, tapi lebih luas dan enggak terlalu berdesakan," katanya kepada kumparan di Jakarta, Selasa (19/3).
Pantauan kumparan, bus yang pertama dioperasikan pada November tahun lalu itu, memang terasa nyaman. Tak butuh waktu lama untuk bisa mengantre masuk ke bus, udara yang tidak pengap, kursi yang dalam kondisi baik dan aman. Berbeda 180 derajat dengan kondisi angkutan MetroMini yang sudah tak laik jalan dan rawan copet, namun masih melayani penumpang di jalanan ibu kota.
ADVERTISEMENT
Seorang karyawan Transjakarta yang bertugas di bus gratis itu, Budi Setiawan mengatakan MetroTrans itu saat ini total ada 13 jalur koridor.
"Ada 10 koridor yang memang 24 jam, tapi yang tiga lainnya hanya sampai jam 10 malam," katanya.
Sementara, bus gratis itu juga efisien waktu tunggu alias tidak pernah ngetem. Ada atau tak ada penumpang, bus tetap beroperasi secara normal.
"Datangnya tiap paling lama 30 menit sekali, tapi seringnya langsung berangkat," timpalnya.
Budi menyebut, penumpang dari bus gratis itu mayoritas dari para karyawan atau ada juga umum yang memang mau dihubungkan ke halte seperti Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta.
"Soal keamanan, aman kok, kan ada CCTV lengkap, enggak pernah ada kejadian (aksi kejahatan)," ucap dia.
ADVERTISEMENT
Feeder Tak Mencukupi dan Ongkos Transportasi Mahal
Angkutan pengumpan atau feeder berperan penting dalam mendukung sarana transportasi. Termasuk, bisa memangkas ongkos transportasi menjadi lebih efisien dengan keberadaan feeder yang memadai ke stasiun atau halte.
Apalagi, ketika sebentar lagi Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta yang akan beroperasi pada 24 Maret 2019 ini. Maka, keberadaan feeder menjadi sangat diperlukan.
Menyoal pentingnya angkutan pengumpan ini, Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno pun menerangkan, urusan pembangunan transportasi publik memang tak bisa hanya fisiknya saja. Namun, mesti melibatkan ekosistem di sekitarnya agar juga terbangun.
"Ketika membangun public transport itu jangan hanya seperti membangun jalan raya. Harus ada, jaringan-jaringan lain yang membantu dia," kata Djoko kepada kumparan.
Djoko juga menekankan, feeder yang digunakan sebaiknya diperhatikan betul. Artinya, jangan sampai feeder itu justru memperparah kondisi kemacetan hingga menyulitkan bagi penumpang. Ia mencontohkan pada ojek online (ojol), yang ia nilai cukup sering jadi biang macet.
ADVERTISEMENT
"Artinya, Gubernur Jakarta harus berani membatasi gerak sepeda motor. Tapi saya yakin dia tidak berani. Karena dia melanggar omongannya sendiri, lebih cepat menggunakan sepeda motor. Ojek mana berani Anies mencabut ucapannya, harusnya berani, wong dia sudah melanggar janji rumah, kenapa enggak sekalian sepeda motor?" kelakarnya.
Selain aspek kemacetan, sebelumnya, kumparan juga mengidentifikasi betapa feeder menggunakan ojek dan taksi online dinilai masih mahal dibandingkan dengan angkutan umum seperti Transjakarta atau KRL. Masyarakat masih menjadikan ojek dan taksi online sebagai feeder utama karena jaringan transportasi publik belum terbangun secara baik hingga ke pusat pemukiman.
Pada jam pulang kerja, sekitar pukul 18.30 wib, kumparan, Selasa (12/2) mencoba menghitung estimasi perjalanan sepulang kerja dari Sudirman Central Business District (SCBD) menuju Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT
Jika menggunakan ojol, penumpang perlu merogoh kocek sebesar Rp 22.000 dengan jarak tempuh sekitar 11,8 km. Sementara, jika naik bus Transjakarta, penumpang perlu naik dari Halte Polda Metro Jaya, lalu menyambung ke Halte Karet Sudirman hingga ke arah Ragunan dengan biaya hanya Rp 3.500 sekali jalan, lalu penumpang bisa jalan kaki atau naik angkot Rp 3.000 yang totalnya hanya Rp 6.500.
Atau alternatif transportasi umum lain yaitu menggunakan KRL Commuter Line. Penumpang bisa pula naik KRL dari SCBD yaitu ke arah Stasiun Sudirman dengan ojol seharga Rp 11.000 (2,8 km), kemudian naik kereta Rp 3.000 hingga Stasiun Pasar Minggu. Lalu, ke Jati Padang Anda bisa menggunakan angkot Rp 3.000. Sehingga total, sekitar Rp 16.000.
ADVERTISEMENT
Dengan formula itu, dengan menggunakan angkutan umum pun bisa menghemat uang mulai dari Rp 8.000 hingga Rp 15.500 untuk sekali jalan dan dikali dua untuk tarif pulang pergi (PP) dari SCBD ke Jati Padang, Pasar Minggu.
Pengguna Ojek Online di DKI Habiskan Puluhan Juta Rupiah per Tahun
Ojek online (ojol) tak dipungkiri telah menjadi alternatif transportasi yang berperan penting bagi masyarakat di Jakarta. Baik sekadar penghubung ke transportasi umum atau bahkan digunakan sebagai transportasi utama dalam aktivitas sehari-hari.
Sadar atau tidak, jika dihitung seksama, pengeluaran untuk keperluan ojol saja, bisa mencapai puluhan juta rupiah dalam setahun.
Salah seorang mahasiswa magister dan karyawan swasta di Jakarta, Aris Munandar (25) mengatakan, dalam sebulan ia bisa menghabiskan sekitar Rp 2 hingga Rp 2,5 juta untuk biaya perjalanan ojol. Jika diakumulasikan dalam setahun, pengeluaran untuk ojol ini bisa mencapai Rp 30 juta.
ADVERTISEMENT
"Macam-macam, untuk ke kampus, ke perpus dan main di sekitar Jakarta per minggu bisa Rp 450 sampai Rp Rp 500 ribu lah. Sehari bisa empat kali dengan estimasi jarak 3-14 km," katanya kepada kumparan, Selasa (12/2).
Aris mengaku, ojol telah menjadi andalan transportasinya sehari-hari dibandingkan angkutan umum lain.
"Saya sebenarnya senang naik transportasi umum, tapi karena enggak ada pilihan, seperti kereta yang berhentinya lama di luar ekspektasi kita, jadi mendingan naik ojol, praktis," imbuh dia.
Seorang pekerja media yang tinggal di daerah Palmerah Jakarta Barat, Isna (24) mengatakan, dirinya setidaknya menganggarkan biaya transportasi ojol sebesar Rp 1,3 hingga Rp 1,8 juta per bulan yang jika ditotal bisa mencapai Rp 22,56 juta per tahun.
ADVERTISEMENT
"Perjalanan ojol sebanyak 4 kali dalam sehari yaitu Rp 12 ribu hingga Rp 15 ribu sekali perjalanan," katanya.
Isna yang termasuk orang yang mengandalkan ojol sebagai transportasi utama itu pun menyebutkan, tarif rush hour atau jam sibuk yang ditetapkan aplikator ojol berpengaruh lebih besar bagi pengeluarannya.
"Tarif pas hujan mahal banget bisa 3 kali lipat. Kalau mau tarif dinaikin sebisa mungkin jangan ada peak hour gitu, jadi tarif di-flat-in aja," terangnya.
Sementara, salah seorang karyawan swasta yang menggunakan ojol sebagai angkutan penghubung (feeder) ke transportasi umum, Ajeng (26) menuturkan, bisa menghabiskan sekitar Rp 500 ribuan dalam sebulan.
"Commuting. Seminggu bisa 6 kali kalau 6 hari kerja, karena biasanya naik ojek buat transport nyambung dari rumah ke tempat umum, sekali perjalanan sekitar Rp 7.000 kalau ada diskon bisa Rp 3.000," timpalnya.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, jika ditotal setahun pengeluaran Ajeng bisa mencapai Rp 6 jutaan.