Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Di Ambang Bangkrut, Sri Lanka Akhirnya Diberi Utang Rp 43 Triliun Oleh IMF
5 September 2022 9:13 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
Didera krisis ekonomi dan politik hingga di ambang bangkrut , Sri Lanka akhirnya mendapat kucuran utang sebesar USD 2,9 miliar dari Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF ). Meski demikian, utang setara Rp 43,2 triliun itu belum benar-benar bisa mengatasi masalah ekonomi Sri Lanka .
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Reuters, Senin (5/9), Kepala Misi IMF untuk Sri Lanka, Peter Breuer, mengingatkan utang tersebut hanyalah awal dari jalan panjang menuju pemulihan. "Selanjutnya Sri Lanka masih memerlukan utang multilateral tambahan dari negara-negara kreditur utama, termasuk China," katanya.
Utang awal sebesar Rp 43,2 triliun tersebut akan dicairkan bertahap selama 48 bulan dalam skema extended fund facility. "Dana ini dirancang untuk memulihkan stabilitas makroekonomi dan keberlanjutan utang," kata IMF dalam sebuah pernyataan.
Peter Breuer menambahkan, pemulihan ekonomi Sri Lanka masih membutuhkan jalan yang panjang. Tapi yang pertama harus dilakukan adalah reformasi birokrasi dan struktur anggaran.
Sri Lanka dilanda krisis ekonomi parah, akibat kebijakan politik populis pemerintahan Presiden Gotabaya Rajapaksa. Seperti meninggalkan total perekonomian konvensional dan mengalihkan ke pertanian organik. Hal itu membuat produksi pertanian dan perkebunan Sri Lanka anjlok.
ADVERTISEMENT
Pada saat yang sama, Sri Lanka mengalami krisis keuangan dengan cadangan devisa yang tipis. Nilai tukar rupee Sri Lanka pun terperosok dalam. Akibatnya mereka tak bisa mengimpor bahan pangan dan kebutuhan energi termasuk BBM. Utang mereka yang jatuh tempo juga tak dapat dibayar dan dinyatakan default atau gagal bayar.
Ekonom pada Center for a Smart Future, sebuah think tank Kolombo, Anushka Wijesinha, menyatakan dari krisis ekonomi dan finansial masalah melebar ke krisis politik yang membuat pergantian pemerintahan. Yang paling terdampak besar dari krisis ini adalah orang miskin.
"Mereka menanggung risiko terbesar dari masalah lapangan kerja, serta pemenuhan kebutuhan pokok," ujarnya.