Ekonom Khawatir Penerimaan Negara Tak Capai Target di 2025

31 Agustus 2024 11:09 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana gedung-gedung bertingkat di Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
zoom-in-whitePerbesar
Suasana gedung-gedung bertingkat di Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
ADVERTISEMENT
Beberapa ekonom khawatir penerimaan negara meleset dari target di tahun depan. Hal ini dinilai karena sejumlah kebijakan pemerintah menjadi disinsentif industri maupun masyarakat, mulai dari rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, pengutan cukai minuman berpemanis, hingga adanya Peraturan Pemerintah (PP) Kesehatan yang bisa menggerus industri hasil tembakau.
ADVERTISEMENT
Dalam RAPBN 2025, pemerintah mematok pendapatan negara sebesar Rp 2.996,9 triliun, yang terdiri dari penerimaan negara dari pajak dan bea cukai (perpajakan) sebesar Rp 2.490,9 triliun, dan penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp 505,4 triliun
Ekonom Universitas Brawijaya,Candra Fajri Ananda, menekankan pentingnya mempertimbangkan berbagai aspek dalam penerapan kebijakan PP Kesehatan, terutama karena kebijakan ini tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan tetapi juga pada ekonomi nasional.
“Kebijakan IHT perlu dipertimbangkan berbagai aspek, yang artinya tidak hanya pertimbangan kesehatan, termasuk juga tenaga kerja, tembakau (pendapatan petani), penerimaan negara, dan industri. Kita berharap ada roadmap IHT ke depan yang lebih jelas dan diamini oleh seluruh stakehodlers,” ujar Candra dalam keterangannya, Sabtu (31/8).
Pekerja melinting rokok sigaret kretek tangan (SKT) di sebuah pabrik rokok di Bantul, Yogyakarta, Selasa (19/12/2023). Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
Pada Desember 2023, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mempublikasikan rekomendasi kebijakan mengenai dampak RPP Kesehatan terhadap industri tembakau. Dalam penelitian tersebut, Indef memaparkan tiga skenario: pembatasan jumlah kemasan, pemajangan produk di etalase, dan pembatasan iklan tembakau.
ADVERTISEMENT
“Jika ketiga skenario tersebut diterapkan secara bersamaan maka akan menyebabkan penurunan penerimaan perpajakan sebesar Rp52,8 triliun. Hal ini disebabkan karena berkurangnya penerimaan cukai dan jenis pajak lainnya sebagai imbas dari pengenaan pasal-pasal yang merugikan sektor IHT dan sektor yang terkait lainnya, ”ujar Peneliti Indef, Tauhid Ahmad dalam laporan tersebut.
Dalam PP Kesehatan yang telah disahkan, termuat pasal tentang pembatasan jumlah kemasan, pemajangan produk etalase, dan pembatasan iklan tembakau yang artinya kekhawatiran penurunan penerimaan negara berdasarkan penelitian Indef berpotensi terjadi.
Melansir data BPS, pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2024 menurun di kuartal II 2024 menjadi 5,05 persen (yoy). Jawa menjadi pulau yang paling berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini juga berarti bahwa kegiatan ekonomi sebagian besar terjadi di sana, termasuk Jawa Timur, provinsi dengan kontribusi terbesar dalam hal produksi tembakau.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, PP Kesehatan berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap sektor-sektor yang sangat bergantung pada tenaga kerja, seperti industri hasil tembakau. Pembatasan yang diatur dalam PP ini, seperti pengurangan jumlah kemasan, pembatasan iklan, dan pembatasan pemajangan produk tembakau, diproyeksikan akan menurunkan produksi dan mengakibatkan kerugian ekonomi bagi petani tembakau dan pelaku industri lainnya.
Pelemahan dan penurunan produksi ini bisa memicu pengurangan tenaga kerja, mengingat sektor tembakau adalah salah satu sektor yang padat karya. Ketika industri mengalami penurunan, pengurangan tenaga kerja atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi salah satu konsekuensi yang hampir tak terelakkan.
Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa selama periode Januari-Juni 2024, jumlah pekerja yang terkena PHK mencapai 32.064 orang, meningkat 21,4 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, meningkatnya proporsi pekerja informal di Indonesia, yang saat ini mencapai 59,17 persen dari total pekerja, menunjukkan bahwa banyak pekerja yang beralih dari pekerjaan formal ke informal, sering kali karena kehilangan pekerjaan di sektor formal.
"Jika tingkat pengangguran terus meningkat, terutama di sektor-sektor formal yang padat karya seperti IHT, maka kontribusi ekonomi dari masyarakat berusia produktif akan semakin menurun. Ini bisa berdampak lebih jauh pada stabilitas ekonomi nasional, karena daya beli masyarakat berkurang, yang pada akhirnya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi," kata Tauhid.