Garap Potensi Bisnis Minyak Jelantah hingga Ban Bekas di RI, Ada Cuannya?

15 Mei 2024 18:50 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi minyak jelantah. Foto: Fernando Avendano/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi minyak jelantah. Foto: Fernando Avendano/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Energi sirkuler menjadi sektor yang belum banyak digarap di Indonesia. Padahal potensinya cukup besar dan produknya bisa diekspor ke Eropa.
ADVERTISEMENT
Beberapa potensi bahan baku untuk energi sirkuler itu adalah minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO), minyak yang berasal dari limbah ban bekas (Tire Pyrolysis Oil/TPO), serta limbah plastik bekas (Plastic Pyrolysis Oil/PPO).
Tiga produk tersebut yang kini sedang dikembangkan oleh PT Lima Pilar Resources (LPR) dengan mengakuisisi PT Arkad Niaga Indonesia (ARKAD).
"Margin masih bagus. Kalau kita bandingkan, 2 tahun lalu secara groos margin dua tahun lalu bisa sentuh USD 25-30 per ton. Saat ini atau turun jadi USD 10 per ton," kata Direktur Utama LPR, Hanny Hendarso saat berbincang dengan kumparan, Rabu (15/5).
Keuntungan itu bisa menjadi cuan besar dengan digenjot lewat volume. Contohnya untuk minyak jelantah, produksinya adalah sebesar 3 persen dari total volume minyak goreng yang diproduksi di Indonesia, negara produsen minyak sawit terbesar.
ADVERTISEMENT
Dengan kebutuhan minyak goreng nasional yang capai 2 juta per tahun, artinya ada 60 ribu ton minyak jelantah yang bisa jadi cuan.
Harganya, TPO dan PPO masing-masing sekitar USD 900 per ton, dan UCO sekitar USD 800 per ton. Pasar yang saat ini selalu menyerap produk energi sirkular ini adalah negara-negara di Eropa.
Direktur Utama LPR, Hanny Hendarso saat ditemui di TWS House, Jakarta, Rabu (15/5/2024). Foto: Akbar Maulana/kumparan

Butuh Dukungan Pemerintah

Sayangnya, belum ada regulasi pemerintah yang mengatur pemanfaatan minyak jelantah. Malahan, regulasinya bercampur aduk dengan minyak goreng.
Saat ini, pengusaha yang akan ekspor minyak goreng ke luar negeri diwajibkan Domestic Market Obligation. Kewajiban pasok minyak goreng dalam negeri ini ternyata dibebankan juga untuk perusahaan yang ekspor minyak jelantah.
"Salah satu bebannya beli kuota (DMO) itu. Tapi masih good business. Bisnis apa yang untungnya USD 10. Tinggal kejar volume kita. Masih menarik," kata Hanny.
ADVERTISEMENT
Belum bicara soal insentif, untuk lini bisnis energi sirkuler seperti minyak jelantah dan ban bekas di Indonesia masih dihadapkan dengan birokrasi perizinan yang berlipat-lipat.
"Kita ada Asosiasinya. Sekarang enggak ada concern ke UCO, masih di minyak gorengnya. Kalau UCO ini belum terlalu dipedulkan, energi sirkular dari minyak goreng ini belum jadi concern Kemendag," kata Direktur Arkad, Putut Tria Putra.
Ilustrasi minyak jelantah. Foto: Andri wahyudi/Shutterstock
Beban kewajiban DMO untuk ekspor minyak jelantah itu menurutnya regulasi yang aneh. "Bayangkan ini waste, UCO disamakan dengan minyak untuk ekspor. Aneh kan. Kalau kita mau ekspor UCO kita harus punya kuota DMO minyak goreng. Kalau produsen minyak goreng masuk akal kan," kata Putut.
Dia menyayangkan belum adanya regulasi dan kemudahan untuk sektor industri TPO, PPO, dan UCO ini. Padahal, permintaannya sangat besar, dan Indonesia punya banyak sumber daya.
ADVERTISEMENT
"Buyer kita itu dia bilang 'lu ada berapa?' 800 ton saja dimakan sama mereka. Artinya peluangnya lebih dari itu. Itu belum PPO dan UCO," tegas dia.