Gerai Ritel Berguguran, Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?

17 Januari 2019 12:28 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:49 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana di dalam Mall Central Neo Soho yang akan ditutup.  (Foto: Elsa Toruan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di dalam Mall Central Neo Soho yang akan ditutup. (Foto: Elsa Toruan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Masih hangat kabar mengenai penutupan 26 gerai hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 532 karyawan yang terjadi pada PT Hero Supermarket Tbk di awal tahun ini. Selain Hero, PT Central Retail Indonesia juga mengumumkan bakal menutup satu gerai Central Departement Store di Neo Soho Mall pada 18 Februari 2019 mendatang.
ADVERTISEMENT
Ekonom di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, pemerintah mesti segera mengambil langkah konkret agar ritel-ritel tak makin banyak yang berguguran. Salah satunya ialah dengan pemberian insentif kepada para pelaku usaha ritel utamanya yang memang padat karya.
"Kasih lah misalnya penangguhan biaya pajak atau keringanan lain-lain jangan kemudian tutup gitu. Contohnya PPh badannya 1 atau 2 tahun bisa ditangguhkan selama masa recovery, nanti kalau sudah mulai profit penambahan tenaga kerja mulai bayar lagi misalnya," katanya ketika dihubungi kumparan, Kamis (17/1).
Bhima melanjutkan, pemerintah juga tak bisa tinggal diam terhadap karyawan yang kena PHK sebagai imbas dari gugurnya retail. Pasalnya, PHK itu bisa mengakibatkan dampak yang lebih jauh lagi di masyarakat yaitu pengangguran, rendahnya daya beli masyarakat hingga kemiskinan.
ADVERTISEMENT
"Jumlahnya cukup banyak (yang di PHK) ratusan ini baru satu grup, belum grup yang lain-lain. Banyaknya pengangguran yang ratusan ini pemerintah harus menyiapkan strategi alih profesi jadi orang yang di-PHK tadi bisa enggak pemerintah masuk ke BUMN yang bergerak di sektor ritel juga bisa enggak seperti itu?" imbuhnya.
Bhima menguraikan, lesunya industri ritel itu memang bisa disebabkan banyak faktor. Salah satu yang menurutnya jadi masalah penting ialah melemahnya daya beli masyarakat.
Indikasi pelemahan daya beli di tingkat menengah ke bawah itu, menurutnya tak hanya bisa dilihat dari inflasi namun lebih jauh dalam waktu 3 tahun terakhir yang menunjukkan konsumsi rumah tangga cenderung bergerak stagnan di angka 5 persen. "Padahal, setiap tahunnya di Indonesia ada pertambahan penduduk dengan kelahiran bayi sekitar 4 juta yang harusnya bisa meningkatkan permintaan konsumsi," kata dia.
Ilustrasi Giant Supermarket. (Foto: Flickr)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Giant Supermarket. (Foto: Flickr)
Sementara, pada kelas menengah ke atas Bhima menyebut pelemahan daya beli lebih disebabkan oleh sikap terhadap tahun politik. Ia mengatakan banyak yang mencari aman dengan 'wait and see' dengan tidak banyak melakukan pembelian atau investasi yang berisiko. Pasalnya, mereka mengkhawatirkan kebijakan yang belum stabil.
ADVERTISEMENT
"Gaduh kebijakan contohnya kemarin harga BBM jam sekian mau dinaikkan terus tiba-tiba satu jam kemudian dibatalkan, paket kebijakan 16 katanya udah mau disentif ini itu terus ditarik lagi, ini membuat semakin dekat pilpres ini sehingga orang-orang kaya menahan diri," ujarnya.
Tak hanya itu, Bhima menyebut, menjamurnya minimarket juga berpengaruh terhadap lemahnya daya saing retail utamanya menyangkut kebutuhan sehari-hari masyarakat. Hal itu ditambah lagi ongkos operasional dan ongkos produksi termasuk barang impor akibat fluktuasi rupiah yang kian mahal menjadikan ritel semakin kewalahan.
Kendati demikian, Bhima menyangkal kalau persaingan dengan e-commerce cukup berdampak bagi ritel. Pasalnya, e-commerce saat ini porsinya masih 2 persen dari total ritel nasional terkait bahan kebutuhan pokok. Singkatnya, barang yang dijual e-commerce dengan supermarket itu dua jenis yang komposisinya beda.
ADVERTISEMENT
"Kalau e-commerce itu 70 persen lebih bisa dicek banyak fashion kemudian sisanya lebih banyak elektronik hampir 30 persen sisanya, makanan ada tapi sangat kecil sementara yang anjlok sekali yang Hero mengeluhkan dari makanan dan minuman atau consumer goods yang kita konsumsi sehari-hari turun sekitar 7 persen. Ini mengindikasikan memang permasalahannya bukan e-commerce pertama," kata dia.
Pada kondisi itu, Bhima mengimbau agar pemerintah bisa lebih dulu fokus mengambil langkah mendorong kebijakan makro yaitu untuk menaikkan pendapatan masyarakat hingga menerapkan stabilitas kebijakan. "Jadi dekat pemilu jangan ada kebijakan-kebijakan plin-plan yang maju-mundur gitu," ucapnya.