Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Impor Senjata RI: Salah Satu yang Terbesar di Dunia—dan Diminta Jokowi Direm
12 Juli 2020 10:12 WIB
Ucapan Jokowi untuk mengerem impor senjata itu terlontar sehari sesudah Badan Kerja Sama Pertahanan Amerika Serikat merilis informasi bahwa Departemen Luar Negeri mereka telah memutuskan untuk menyetujui kemungkinan penjualan 8 unit pesawat MV-22 Block C Osprey pabrikan Bell Textron & Boeing kepada pemerintah Indonesia seharga Rp 28,8 triliun.
“Sangat penting bagi AS untuk membantu Indonesia mengembangkan dan menjaga kapabilitas pertahanannya yang kuat dan efektif. Penawaran penjualan pesawat ini akan meningkatkan kapabilitas penanganan bencana Indonesia dan mendukung operasi-operasi amfibi,” tulis Defense Security Cooperation Agency dalam keterangan persnya, 6 Juli 2020.
Esoknya, 7 Juli, Jokowi mengeluarkan perintah untuk mengerem impor alutsista. Keesokannya lagi, 8 Juli, Kementerian Pertahanan RI membantah berencana membeli MV-22C Osprey dari AS. Sekjen Kemhan, Marsekal Madya Donny Ermawan Taufanto, mengatakan kementeriannya mengutamakan produk dalam negeri.
Di masa pandemi begini, kebijakan itu memang masuk akal. Apalagi, empat bulan sebelumnya setumpuk senjata impor sudah masuk. Pada 15 April, Badan Pusat Statistik merilis data ekspor-impor Indonesia sepanjang Maret yang memperlihatkan peningkatan drastis impor senjata—naik 7.384 persen dari bulan Februari; bahkan melonjak 8.809 persen dari tahun sebelumnya, Maret 2019.
Senjata-senjata dari Belanda, Amerika Serikat, dan Italia itu merupakan hasil belanja militer Kemhan. Menurut Kepala BPS Suhariyanto, “Ini impor rutin setiap tahun untuk pertahanan dan keamanan negara.”
Indonesia sejak dulu secara berkala masuk ke daftar negara pengimpor senjata terbesar di dunia. RI mulai masuk ke daftar itu pada 1958—tiga belas tahun setelah merdeka.
Impor senjata RI menanjak pada 1960 di era Demokrasi Terpimpin Sukarno, lalu turun, meningkat lagi pada 2003 di masa Reformasi, kemudian kembali turun, mendadak melonjak pada 2013-2014 di akhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, lalu merosot, dan naik lagi pada 2017 di periode Jokowi.
Meski Indonesia juga mengembangkan industri pertahanan domestiknya, ia tetap bergantung pada impor senjata untuk sebagian besar alutsistanya. Selama 2013–2017, berdasarkan data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Indonesia tercatat sebagai importir senjata terbesar ke-10 di dunia.
RI membeli alutsista dari ragam pemasok, mencerminkan sikap non-bloknya. Negara-negara yang menjadi pemasok utama impor senjata Indonesia pada periode 2012-2016 adalah Inggris, Amerika Serikat, Rusia, Korea Selatan, China, dan Jerman.
Impor senjata Indonesia membesar secara substansial dua dekade terakhir seiring dengan anggaran belanja militer yang meningkat signifikan. Hal ini didorong oleh upaya modernisasi kekuatan tempur TNI lewat kebijakan jangka menengah berupa pemenuhan minimum essential force (MEF) yang ditetapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010.
Pemerintah RI memasang target untuk memenuhi 100 persen MEF pada 2024—akhir periode kepemimpinan Jokowi. Hingga tahun 2019, menurut Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid, pemenuhan MEF sudah mencapai 74 persen. Di angka 100 persen nanti, pertahanan Indonesia diyakini bakal punya efek gentar bagi dunia.
Global Firepower, situs informasi statistik pertahanan, menempatkan kekuatan militer Indonesia di peringkat 16 dari 138 negara pada 2020. Pada posisi itu, Indonesia adalah yang terkuat di Asia Tenggara.
Peringkat tersebut tak banyak berubah selama sepuluh tahun terakhir. Sepanjang 2010 sampai 2020, Indonesia selalu berada di urutan belasan—antara 12 sampai 19. Artinya, RI secara konsisten dianggap sebagai yang terkuat di ASEAN.
Indonesia juga masuk dalam 40 negara dengan belanja militer tertinggi di dunia pada 2019 menurut statistik SIPRI. RI yang mengantongi anggaran pertahanan US$ 7,7 miliar (0,7 persen dari GDP) berada di peringkat 27 dunia—dan nomor 2 di Asia Tenggara setelah Singapura.
Meski belanja militer Indonesia yang kedua terbesar di ASEAN, Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto menyebutnya sebagai “yang terkecil di Asia Tenggara karena tak sampai 1 persen di bawah GDP.” Menurutnya, “Negara-negara tetangga Indonesia ada yang (menghabiskan anggaran pertahanan) 3 persen dari GDP.”
Prabowo benar. Hampir semua negara Asia Tenggara punya bujet belanja militer lebih dari 1 persen GDP. Hanya Indonesia, Laos, dan Timor Leste yang anggaran pertahanannya kurang dari 1 persen GDP.
Bujet militer Singapura—yang terbesar di ASEAN—senilai US$ 11,2 miliar ialah 3,2 persen dari GDP negara itu pada 2019. Sementara anggaran militer Thailand sebanyak US$ 7,3 miliar—meski lebih kecil dari Indonesia—adalah 1,3 persen dari GDP negeri itu pada 2019.
Pun begitu, secara jumlah, selama satu dekade terakhir Indonesia terus berada di peringkat kedua pada daftar negara dengan belanja militer tertinggi di Asia Tenggara.
Di sisi lain, volume belanja militer yang besar juga membuat peluang dan risiko korupsi semakin tinggi. Pada titik ini, Indonesia dinilai kurang transparan dan kurang akuntabel dalam pengadaan alat utama sistem persenjataannya.
Transparansi Internasional pada 2015 menempatkan Indonesia pada kategori negara berisiko tinggi dalam indeks antikorupsi pertahanannya (Government Defence Anti-Corruption Index ). Bersama Indonesia, pada kelompok tersebut terdapat Malaysia, Filipina, India, Turki, Tunisia, Kenya, Bosnia, Ukraina, sampai Rusia.
Total ada enam kategori pada indeks ini, dari A ke F (A = memiliki risiko korupsi pertahanan sangat rendah; B = rendah; C = sedang; D = tinggi; E = sangat tinggi; F = gawat).
Di Asia Tenggara, selain Indonesia, Malaysia, dan Filipina yang berada pada kelompok negara berisiko tinggi dalam korupsi sektor pertahanannya, Thailand masuk kategori sangat tinggi (E), Kamboja serta Myanmar pada kategori gawat (F), dan Singapura menjadi satu-satunya anggota ASEAN yang masuk kelompok berisiko rendah—artinya dianggap memiliki struktur kelembagaan efektif untuk mencegah korupsi di institusi pertahanannya.
Dalam studinya, Corruption in the Indonesian arms business: tentative steps towards an end of impunity, Sam Perlo-Freeman dan Xiaodon Liang menyebut pengadaan alutsista di Indonesia diwarnai dengan “penunjukan khusus dari para jenderal, penggelembungan anggaran, dan pemberian komisi untuk para makelar senjata.”
Salah satu indikasi korupsi pengadaan senjata di Indonesia adalah kombinasi antara (1) keragaman pemasok senjata dengan (2) kelaziman pembelian secara terpisah dalam partai kecil untuk jenis alutsista yang sama.
Seorang mantan pejabat di lingkaran industri pertahanan RI mengatakan, pengadaan alutsista secara prinsip dilakukan melalui tender, namun ada kewenangan untuk menunjuk langsung pemasok karena faktor kerahasiaan negara.
Penunjukan langsung itu, ujarnya, dilandasi analisis dan argumen kuat. “Misalnya mau beli artileri pertahanan udara A karena dapat mendukung interoperabilitas antarangkatan, sehingga dukungan logistiknya tak terlalu susah.”
Anggota Komisi I Bidang Pertahanan DPR Willy Aditya menyatakan, ada dua hal yang perlu dijaga dalam proses pengadaan alutsista, yakni: (1) kesesuaian antara penggunaan anggaran dengan aturan pengadaan barang-jasa pemerintah; serta (2) kesesuaian antara jenis alutsista dengan desain pertahanan yang akan dibangun.
Untuk poin nomor satu, menurut lulusan magister Defense Studies ITB itu, ada audit penggunaan anggaran oleh BPK dan auditor internal Kemhan. “Jadi yang diaudit adalah kesesuaian anggaran dengan pembelanjaan.”
Namun, belum ada audit untuk poin nomor dua. “Kita tidak tahu kesesuaian antara alutsista dan teknologinya dengan potensi ancaman dan sistem pertahanan yang hendak dibangun. Jadi publik hanya bisa mereka-reka apakah alutsista yang dipakai sudah sesuai dengan kebutuhan negara atau tidak,” ujar Willy.
Willy berpendapat, perlu dibentuk Komite Audit Sistem Pertahanan untuk memastikan alutsista yang dibeli memang sesuai dengan potensi ancaman dan sistem pertahanan negara.
Komite tersebut, lanjutnya, diisi oleh orang-orang profesional, secara struktural tidak berada di bawah Kemhan, dan idealnya bertanggung jawab langsung kepada Presiden agar dapat bekerja dengan leluasa dan mendalam.
Kini, setelah Jokowi menginstruksikan pengereman impor senjata, apakah risiko korupsi di sektor pertahanan bakal berkurang?
Hmm, belum tentu... sebab broker alutsista juga gentayangan di dalam negeri. Selain itu, faktor “rahasia negara” yang melingkupi pembelian alutsista mempersulit proses pengawasan.