Kadin Usulkan Skema Cost Recovery dan Badan Khusus untuk Energi Terbarukan

21 September 2020 17:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi panas bumi. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi panas bumi. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (EBTKE) tengah dibahas oleh Komisi VII DPR RI dan pemerintah. RUU ini bakal menjadi payung hukum yang baru bagi energi terbarukan untuk kelistrikan nasional.
ADVERTISEMENT
Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Energi Terbarukan dan Lingkungan pun menyampaikan beberapa masalah krusial yang menghambat pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Salah satu masalah yang paling serius adalah harga jual listrik energi terbarukan dari pengembang ke PLN kurang dari 8 sen per kWh.
"Maka dulu pernah ada gagasan pemerintah keluarkan sovereign wealth fund yang mana itu mendanai atau subsidi harga apabila PLN dipaksa bahwa PLN harus bayar dengan harga yang murah. Ini sumbunya ada di PLN. Jadi permasalahan utamanya adalah bagaimana PLN mampu membeli dari harga EBT itu sendiri," kata Anggota Kadin Bidang Energi Terbarukan dan Lingkungan Satya Widya Yudha dalam rapat dengan Komisi VII DPR RI, Senin (21/9).
ADVERTISEMENT
Selain masalah harga, ada aturan dari Menteri ESDM yang menghambat pengembangan pembangkit EBT yaitu skema Build, Operate, Own, Transfer (BOOT). Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017 disebutkan skema BOOT ini mengharuskan aset pembangkit yang dibangun swasta akan menjadi milik PLN setelah kontrak berakhir.
com-Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) kapasitas 75 MW di Sidrap, Makassar Foto: dok. PLN
Dampaknya, kata Satya, perbankan tidak mau menerima pembangkit listrik sebagai jaminan. Pengembang energi terbarukan jadi sulit mendapatkan utang dari bank karena menggunakan skema BOOT.
Masalah lain, perbankan pun tidak bisa mengalihkan kontrak dari Independent Power Producer (IPP) atau pengembang swasta jika bangkrut. Bank tidak bisa mengalihkan pinjamannya ke IPP yang lebih mampu membuat pengembang sulit mendapatkan utang.
"Lalu, ada klausul dalam PPA (Power Purchase Agreement atau Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik) kita antara IPP yang menyebutkan saham dalam pembangun kontruksi pembangkit tidak bisa dijaminkan. Ini juga jadi sesuatu yang tidak lazim sebenarnya kalau kita ingin berkompetisi dengan fossil fuel," ujar dia.
ADVERTISEMENT

Usul Skema Cost Recovery dan Badan Khusus

Satya mengusulkan untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) atau geothermal menggunakan skema cost recovery. Dia berharap usulan ini bisa dipertimbangkan dalam RUU EBTKE yang tengah dibahas DPR dan pemerintah.
Menurut Satya pengembangan PTLP sama dengan mengebor minyak yang berisiko tinggi. Jadi, seharusnya beban biaya bisa ditanggung seperti yang diterapkan dalam skema bagi hasil sektor migas sebagai bagian dari insentif fiskal.
"Tipe kontrak yang ada di geothermal juga sebaiknya dibikin seperti cost recovery. Apabila mereka sukses (mengembangkannya), sunk cost-nya akan dibayar (pemerintah). Ini akan meng-attract investasi geothermal di Indonesia. Kalau tidak, semua risiko akan ditanggung investor," ujar dia.
Sedangkan insentif non fiskal yang Kadin usulkan adalah pemerintah harus menjamin lahan, terutama bagi pengembangan panas bumi. Selama ini lahan kerap jadi persoalan karena ada protes dari warga setempat. Jika lahan bisa dijamin pemerintah, harga biaya pokok produksi listrik dari PLTP bisa ditekan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Kadin juga setuju jika ada badan khusus pengelola energi terbarukan. Badan ini diharapkan bisa menjadi eksekutor untuk investasi pengembangan pembangkit EBT.
"Supaya perjalanannya bagus harus ada badan seperti yang disampaikan Pak Halim Kalla tadi, itu juga akan mendorong kita untuk penanganan EBT. Bukan menambah birokrasi tapi melakukan eksekusi proyek yang akan merangsang mereka (investor) atau kalau bisa badan pelaksana ini kayak one door service seperti di SKK Migas," ujar dia.