Kuota Impor Mau Dihapus & TKDN Direvisi, Ekonom Khawatir Investor Kabur dari RI

13 April 2025 11:04 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi aktivitas di pabrik baru Karawang Assembly Plant 2 (KAP 2) milik Astra Daihatsu Motor (ADM) yang berlokasi di Kawasan Industri Surya Cipta, di Karawang Timur, Jawa Barat. Foto: Astra Daihatsu Motor
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi aktivitas di pabrik baru Karawang Assembly Plant 2 (KAP 2) milik Astra Daihatsu Motor (ADM) yang berlokasi di Kawasan Industri Surya Cipta, di Karawang Timur, Jawa Barat. Foto: Astra Daihatsu Motor
ADVERTISEMENT
Presiden Prabowo Subianto mengatakan akan melakukan fleksibilitas terhadap kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) pada semua negara dan menghapus kuota impor. Hal ini dilakukan dalam upaya negosiasi dengan Amerika Serikat (AS) usai dikenakan tarif impor 32 persen.
ADVERTISEMENT
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengatakan langkah ini akan membuat pemerintah Indonesia seakan-akan tidak menyetarakan perlakuan kepada perusahaan yang sudah masuk ke Indonesia dan yang belum.
“Mereka bisa saja cabut pabrik manufakturnya dari Indonesia dan memutuskan untuk mengimpor barang secara langsung,” tutur Nailul kepada kumparan, Minggu (13/4).
Dia memproyeksi, investor lebih tertarik menjadi importir ketimbang produsen di Indonesia. Sebab, mereka tak harus susah-payah membangun pabrik di Indonesia, bisa tinggal impor produk.
Meskipun, Nailul juga tidak menampik ada beberapa poin kebijakan dalam aturan TKDN yang perlu diperlonggar atau dirombak.
“Misalkan perusahaan harus membangun manufaktur dalam jangka waktu tertentu,” imbuhnya.
Selain itu, Nailul juga melihat Indonesia tidak boleh mengesampingkan kesiapan dalam negeri sebelum merumuskan kebijakan TKDN.
ADVERTISEMENT
Dia menyoroti kesiapan Indonesia di sektor industri teknologi, banyak dari perusahaan teknologi global yang tidak masuk ke Indonesia dikarenakan aturan TKDN. Mulai dari masalah tingkat inovasi yang rendah hingga SDM yang belum kompetitif.
“Termasuk juga dengan industri ICT yang saya lihat juga belum siap industri dalam negeri untuk bisa menampung keinginan perusahaan teknologi global jika ingin berinvestasi di Indonesia,” tuturnya.
Kemudian dari sisi rencana penghapusan kuota impor Nailul melihat perlu dilakukan kajian karena kebijakan ini rawan adanya jatah bagi pemburu rente.
“Saya sangat setuju jika kebijakan kuota impor ini dievaluasi terlebih dahulu sebelum menentukan apakah akan diganti dengan tarif atau tidak,” jelasnya.
Ekonom dari CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet menilai relaksasi TKDN yang juga sedang dipertimbangkan sebagai bagian dari paket negosiasi dengan AS menghadirkan dilema tersendiri.
ADVERTISEMENT
Yusuf melihat di satu sisi, pelonggaran TKDN dapat membuka akses investasi dan memfasilitasi perdagangan bilateral. Namun di sisi lain, langkah ini berisiko menciptakan ketidakpastian bagi investor dalam negeri dan menjadi langkah mundur dari upaya industrialisasi yang selama ini didorong pemerintah. Sehingga menurunya, pendekatan pemerintah haruslah seimbang dan berbasis strategi jangka panjang.
Dia melihat pengembangan roadmap TKDN yang jelas, serta insentif berbasis performa dan transfer teknologi, bisa menjadi alternatif yang lebih bijak dibanding sekadar membuka keran impor dan melonggarkan TKDN secara luas. Hal ini karena kebijakan relaksasi impor besar-besaran akan membuat risiko jika tidak disertai dengan batasan dan pengawasan yang ketat.
Nailul memproyeksi Indonesia berpotensi menjadi pasar bagi produk dumping dari negara-negara seperti Tiongkok dan Vietnam, yang kini juga dikenai tarif tinggi oleh AS. Sehingga bisa mengancam kelangsungan industri dalam negeri, khususnya industri padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan furnitur.
ADVERTISEMENT
“Dalam jangka pendek, hal ini bisa menurunkan daya saing produsen lokal, menyebabkan penurunan produksi, dan mendorong gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sehingga berdampak negatif pada tingkat ketenagakerjaan nasional,” tuturnya.
Terlebih tekanan terhadap ekspor, ditambah lonjakan impor, berpotensi memperlebar defisit transaksi berjalan dan memicu keluarnya modal asing atau capital outflow. Pelemahan ekspor juga menekan nilai tukar rupiah, memperberat beban utang luar negeri, dan menyulitkan stabilisasi makroekonomi.
“Dalam konteks ini, rencana pembukaan keran impor perlu difokuskan pada barang modal dan bahan baku industri yang tidak diproduksi secara efisien di dalam negeri, bukan pada barang konsumsi yang berpotensi menekan sektor manufaktur domestik,” terangnya.