Mari Belajar Politik Energi dari Konflik Rusia dan Ukraina

26 Februari 2022 7:51 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Prajurit naik di atas kendaraan lapis baja Rusia di Armyansk, Krimea, Jumat (25/2/2022). Foto: Stringer/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Prajurit naik di atas kendaraan lapis baja Rusia di Armyansk, Krimea, Jumat (25/2/2022). Foto: Stringer/AFP
ADVERTISEMENT
Invasi Rusia ke Ukraina saat ini tengah menyita perhatian. Pertikaian yang awalnya melibatkan dua negara, berpotensi menjadi krisis multidimensi dan multinegara.
ADVERTISEMENT
Mantan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menyebutkan, salah satu dimensi yang harus diwaspadai adalah memburuknya krisis energi di Eropa yang saat ini tengah terjadi. Kenapa bisa seperti itu?
Dalam sepuluh tahun belakangan, Eropa membutuhkan gas bumi sekitar 17 tcf per tahun. Dari jumlah ini, sepertiga dipenuhi dari gas pipa yang berasal dari Rusia dan sisanya berasal dari impor LNG dan produksi dari negara-negara Eropa sendiri seperti Norwegia dan Belanda.
"Dengan perubahan strategi perusahaan energi Eropa seperti Shell, BP dan Equinor yang beralih ke bisnis energi terbarukan maka produksi gas bumi dari Eropa menjadi berkurang. Akibatnya impor LNG semakin meningkat dan ketergantungan gas pipa dari Rusia semakin tak terelakkan. Di sisi lain energi terbarukan yang diharapkan dapat menggantikan energi fosil, belum menunjukkan performa terbaiknya," ujar Arcandra dalam akun Instagram pribadinya, dikutip pada Sabtu (26/2).
ADVERTISEMENT
Kenapa konflik antara Rusia dan Ukraina bisa memperparah krisis energi di Eropa?
Lebih dari seperempat (25 persen) jalur gas pipa Rusia melewati Ukraina, sisanya lewat Belarusia, Polandia dan juga lewat Laut Baltik. Dengan jalur pipa yang melewati Ukraina, Rusia akan memanfaatkannya untuk menekan balik negara-negara Eropa Barat kalau ada sanksi internasional yang dikenakan ke Rusia.
Pemandangan stasiun penerima Pipeline Inspection Gauge (PIG), Nord Stream 2 bagian dari area pendaratan di Lubmin di pantai Laut Baltik Jerman. Foto: John MACDOUGALL/AFP
Arcandra memperkirakan, ada beberapa skenario yang mungkin akan dijalankan oleh Rusia. Pertama, gas pipa yang sudah terkontrakkan untuk dialirkan ke Eropa Barat akan dihentikan oleh Rusia dengan alasan keamanan pipa tidak terjamin di wilayah Ukraina yang sedang berkonflik.
"Ini adalah strategi yang cerdas ditinjau dari sisi bisnis karena Rusia bisa terhindar dari penalti akibat cedera janji dengan tidak mengalirkan gas ke Eropa Barat," Arcandra menerangkan.
ADVERTISEMENT
Skenario kedua, Rusia bisa saja dengan sengaja tidak mau mengalirkan seluruh gasnya ke Eropa Barat sebagai bentuk perlawanan untuk membalas sanksi internasional terhadap negaranya. Sebenarnya, Rusia masih bisa mengalirkan sebagian gasnya lewat jalur pipa Belarusia dan Polandia yang berukuran lebih kecil.
"Kalau kita mau mencermati lebih dalam, dua skenario di atas dapat digunakan untuk melihat bagaimana Rusia merespons konflik dengan Ukraina ini," ucap Arcandra.
Jika skenario pertama yang dijalankan artinya Rusia masih menghormati kontrak penyaluran gas yang sudah disepakati namun tak bisa terlaksana karena faktor keamanan. Rusia terlihat profesional dalam hal ini dan penyelesaian konflik mungkin bisa mencapai titik temu.
Jika skenario kedua yang dijalankan, maka Rusia akan terlihat emosional dan penyelesaian konflik akan menjadi susah. Rusia tentu akan berhitung juga bahwa skenario kedua akan berakibat kepada marahnya negara negara Eropa Barat karena tidak mendapatkan gas bumi yang sangat mereka butuhkan pada saat musim dingin.
ADVERTISEMENT
Kapal peletakan pipa "Castoro 10" selama operasi untuk menghubungkan dua bagian pipa dari pipa gas alam Laut Baltik Nord Stream 2 untuk membawa gas Rusia ke Jerman dan Turki. Foto: Reuters
Sayangnya, kedua skenario ini mempunyai daya rusak yang hampir sama terhadap perekonomian negara-negara Eropa Barat. Bagaimana tidak, dengan musim dingin yang masih berlangsung dalam beberapa bulan ke depan, Eropa hanya mampu bertahan selama 6 minggu dengan cadangan LNG yang tersedia. Dalam hal ini Rusia akan merasa di atas angin.
Ada beberapa konsekuensi yang mungkin terjadi akibat dua skenario di atas. Pertama, pembangkit batu bara dan nuklir akan dihidupkan kembali terutama PLTN di Jerman yang sudah pensiun. Dampaknya harga batu bara bisa naik kembali seperti tahun lalu.
Kedua, impor LNG akan semakin besar yang berakibat pada naiknya harga spot. Ketiga, perusahaan energi Eropa mungkin akan berpikir ulang untuk kembali melakukan bisnis minyak dan gas. Segala upaya untuk meningkatkan produksi dari wilayah Eropa Barat akan tetap dilakukan.
ADVERTISEMENT
"Satu hal yang dapat kita pelajari dari konflik Rusia dan Ukraina adalah, bukan teknologi dan komersial saja yang harus dipertimbangkan dalam menyusun strategi menuju zero emisi, geopolitik ternyata bisa membelokkan strategi yang sudah dirancang," tutup Arcandra.