Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Sarana transportasi Mass Rapid Transit (MRT ) Jakarta yang akan beroperasi pada 24 Maret 2019, kini tengah menjadi euforia tersendiri di tengah masyarakat, khususnya ibu kota.
ADVERTISEMENT
Buktinya, momen menjajal MRT gratis pada 12-24 Maret 2019 pun disambut antusias. Bahkan, beberapa pejabat negara, termasuk menteri hingga Presiden Jokowi tak ketinggalan mencoba MRT fase I yang dikerjakan oleh konsorsium kontraktor Jepang-Indonesia ini.
Jalur MRT fase I menghubungkan Lebak Bulus-Bundaran HI, jaraknya sekitar 16 kilometer (km). Waktu tempuh MRT diproyeksikan sekitar 30 menit, dengan 13 stasiun yang disiapkan untuk naik dan turun penumpang.
MRT Jakarta akan terdapat 7 stasiun layang, yakni Lebak Bulus, Fatmawati, Cipete Raya, Haji Nawi, Blok A, Blok M, dan Sisingamangaraja. Di samping itu, ada juga 6 stasiun bawah tanah, yaitu Senayan, Istora, Bendungan Hilir, Dukuh Atas, dan Bundaran HI.
MRT Jakarta boleh saja siap beroperasi, lantas bagaimana dengan infrastruktur pendukung seperti angkutan feeder atau bus pengumpan dan trotoar?
ADVERTISEMENT
Kepala Humas Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Budi Rahardjo mengatakan, saat ini infrastruktur itu masih belum sepenuhnya rampung, namun pihaknya menjelaskan hal itu masih terus dikoordinasikan.
“BPTJ fungsinya memfasilitasi feeder-feeder tersedia, jadi sampai dengan Minggu kemarin itu, dari koordinasi yang kita lakukan itu, siap sekitar 70-80 persen,” katanya kepada kumparan, Selasa (18/3).
Budi menambahkan, penyediaan infrastruktur penunjang MRT memang perlu proses. Ia menyebut, kondisi kelaikan feeder dan trotoar di sepanjang Bundaran HI hingga Lebak Bulus tidak seragam.
Maka dari itu, ia menekankan, proses persiapannya pun tak bisa dipukul rata pula. Ia mencontohkan, feeder dan trotoar yang sudah cukup baik ialah di kawasan Sudirman-Thamrin. Sedangkan, yang butuh perhatian khusus adalah daerah Fatmawati hingga Lebak Bulus.
ADVERTISEMENT
“Seperti halnya infrastruktur lain pasti ada proses, tidak kemudian kita beroperasi lalu semua tiba-tiba lancar, tidak mungkin. Pasti akan ada proses untuk bagaimana menuju lebih lancar,” ungkap dia.
Menyoal feeder yang bakal dilibatkan, Budi menegaskan, pihaknya akan mengakomodir layanan transportasi umum seperti Transjakarta sebagai moda feeder yang utama.
Sementara, kata dia, agar tak menyebabkan kemacetan yang membeludak di sekitar stasiun MRT, maka ojek online (ojol) bakal dibatasi pergerakannya.
“Di tempat-tempat yang sudah memadai feeder-feeder-nya, ojol tidak akan beroperasi di situ, terutama di koridor utamanya. Bisa saja beroperasi tapi di luar koridor utama, taruhlah di Sudirman, nah mereka beroperasinya di belakang Sudirman,” ujarnya.
Mengapa Feeder dan Trotoar Begitu Penting?
ADVERTISEMENT
Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno menerangkan, urusan pembangunan transportasi publik seperti halnya MRT, tak hanya fisiknya saja. Namun, mesti melibatkan ekosistem di sekitarnya agar terbangun.
“Ketika kita membangun transportasi, ini kita selama ini fisiknya saja, padahal ketika membangun public transport itu fisik hanya seperempat saja saya pikir. Harus ada jaringan-jaringan lain yang membantu dia,” timpalnya dihubungi di kesempatan berbeda.
Ia menegaskan, idealnya feeder dan trotoar menuju public transport semestinya telah menjadi satu kesatuan yang harus sama-sama diperhatikan. Artinya, sarana transportasi rampung, infrastrukturnya pun telah jadi.
Dengan konsep seperti itu, menurutnya, masyarakat pun jadi tak enggan untuk beralih ke transportasi umum yang lebih aman, cepat, dan murah daripada menggunakan kendaraan pribadi. Harapannya, MRT Jakarta terkoneksi dengan berbagai transportasi umum lainnya.
ADVERTISEMENT
“Masyarakat Jakarta lebih pandai menghitung kalkulasi, nilai waktunya nilai finansialnya bagaimana, kalau murah dan cepat, ia akan menerima,” pungkasnya.