Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Nasib Blok East Natuna: 49 Tahun Mangkrak, Kini Akan Ditinggal Pertamina
24 November 2022 16:39 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Nasib Blok East Natuna di Pulau Natuna, Kepulauan Riau, terkatung-katung. Sejak ditemukan pada 1973 atau 49 tahun lalu, lapangan gas raksasa ini belum juga digarap.
ADVERTISEMENT
Mulanya ExxonMobil tertarik menggarap Blok East Natuna. Perusahaan migas asal Amerika Serikat ini mendapatkan hak kelola pada 1980. Namun pada 2007, pemerintah menghentikan kontraknya karena tak ada perkembangan.
Pada 2008, proyek ini diserahkan pemerintah ke Pertamina . Dua tahun berikutnya, ExxonMobil ikut lagi dalam proyek ini disusul dengan perusahaan migas Total dari Prancis dan Petronas dari Malaysia. Namun pada 2012, posisi Petronas digantikan perusahaan migas Thailand, PTT Exploration and Production.
Namun pada 2017, perusahaan migas asal Amerika Serikat ini mengembalikan ke pemerintah karena dianggap tak ekonomis. Konsorsium bubar, hanya menyisakan Pertamina. Kini, BUMN energi itu pun, disebut Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji, akan melepasnya.
“Dulu kan ada penugasan ke Pertamina. (Sekarang) kita kembalikan dulu ke negara, kemudian kita akan lelang tender terbuka untuk D-Alpha. Kita akan coba bagi tiga East Natuna itu," ujar Tutuka di sela-sela acara International Convention Oil and Gas of Indonesia Upstream Oil and Gas (IOG) 2022, Nusa Dua Bali, Kamis (24/11).
Blok East Natuna merupakan proyek migas di lepas pantai (offshore). Posisinya terletak di perairan Natuna, sekitar 225 km ke arah timur laut dari Pulau Natuna.
ADVERTISEMENT
Sejak ditemukan hampir setengah abada lalu, cadangan gas Blok East Natuna mencapai 46 triliun kaki kubik (TCF). Cadangn ini merupakan yang terbesar di Indonesia, 4 kali lipat Blok Masela .
Namun, belum tergarapnya Blok East Natuna karena terkendala teknologi dan risiko kerusakan pipa. Sebab kadar karbon dioksida yang terkandung di dalam gas di blok ini mencapai 72 persen.
Tutuka menargetkan proses pengembalian Blok East Natuna dari Pertamina ke Pemerintah dapat selesai tahun ini. Sehingga pada awal tahun depan blok tersebut dapat dijadwalkan untuk masuk lelang. Kalau tidak cepat diputuskan, menurutnya, proyek ini akan semakin tidak ekonomis di tengah transisi energi yang gencar dilakukan pemerintah.
Hal lain yang juga sangat mempengaruhi nasib Blok East Natuna adalah revisi Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) yang kini masih menggantung di DPR. Selama 10 tahun, payung hukum industri migas Indonesia ini tak kunjung selesai direvisi.
ADVERTISEMENT
“East Natuna ini sudah lebih dari 45 tahun tidur. Kalau kita enggak cepat ambil saat ini, saya kira tinggalkan saja karena ke depan, 10-20 tahun lagi sudah masuk renewable energy (energi terbarukan). Kita bertaruh dengan itu. Sangat kompleks, biaya tinggi. Di sinilah pentingnya UU Migas,” ujar dia.
Di lokasi yang sama, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto berjanji RUU Migas akan selesai tahun depan demi memberikan kepastian hukum dan menarik minat investasi di industri hulu migas. Apalagi DPR sudah memiliki naskah akademik untuk mengubah UU 20/2001 karena beberapa pasal dalam UU itu telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
“Pada 2023 saya pastikan UU Migas tuntas. Undang-Undang Migas ini bakal menjadi inisiatif DPR untuk dapat mengakselerasi pembahasan muatan yang termaktub dalam peraturan payung hulu migas nasional,” ujar Sugeng.
ADVERTISEMENT