Ombudsman Ungkap Penyebab Persoalan Minyak Goreng Sejak 2021

13 September 2022 18:35 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang pengunjung memilih minyak goreng yang dijual di supermarket. Foto: ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pengunjung memilih minyak goreng yang dijual di supermarket. Foto: ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang
ADVERTISEMENT
Ombudsman RI telah mengeluarkan laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) investigasi atas perkara sendiri tentang dugaan maladministrasi dalam penyediaan dan stabilisasi minyak goreng. Dalam temuannya itu, anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika membocorkan praktik maladministrasi pemerintah yang menyebabkan terjadinya persoalan minyak goreng sejak akhir tahun 2021 lalu.
ADVERTISEMENT
"Kalau ingin tahu bocorannya, maladministrasinya itu di mana? Satu, dari tidak prudent-nya dalam mengeluarkan kebijakan. Kebijakan itu intinya tidak didahului ataupun disertai dengan kajian yang komprehensif. Tidak disertai dengan kemampuan untuk memitigasi risiko," kaya Yeka saat ditemui di Kantor Ombudsman RI, Jakarta (13/9).
Tindakan maladministrasi yang kedua, lanjutnya, adalah bagaimana penempatan pelaku yang dilibatkan dalam proses stabilisasi tidak sesuai kriteria perundang-undangan, hasilnya sebuah kebijakan tidak bisa berjalan efektif. Yeka mencontohkan apa yang terjadi pada kebijakan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng yang membuat minyak goreng menjadi langka kala itu.
"Makannya HET tidak pernah terwujud. Nah siapa yang harus melakukan penugasan itu? Harus instrumen pemerintah. Siapa? Ya BUMN. Enggak bisa penugasan itu dilaksanakan oleh swasta, itu pada intinya," jelas Yeka.
ADVERTISEMENT
Maladministrasi kebijakan yang ketiga, adalah dari sisi regulasi. Yeka mencontohkan seperti Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur soal bea keluar. Menurutnya, tarif bea keluar yang ditetapkan justru tinggi ketika harga CPO dunia turun.
"Dulu bea keluar misalnya USD 200, tapi harga rata-rata dunia USD 1.750 per ton, harga referensi USD 1.250 per ton, ada insentif di situ. Tapi begitu ada regulasi yang baru nomor 98, pajaknya ditingkatkan jadi USD 288. Harga referensinya USD 1.500, harga riilnya USD 1.400. Ya disinsentif, orang enggak mau ekspor, rugi dia ekspor, kan pajaknya tinggi," jelas Yeka.
Kebijakan maladministratif tersebut, kata Yeka, ingin dibenahi oleh Ombudsman. Untuk itu bersamaan dengan pelaporan akhir hasil pemeriksaan ini pihaknya juga menetapkan tindakan korektif kepada pemerintah untuk perbaikan tata kelola minyak goreng di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Yeka menegaskan bahwa hasil temuan Ombudsman ini telah dikaji secara mendalam. "Kamu tahu tidak, kita sudah review 44 kebijakan, bukan kaleng-kaleng ini reviunya," pungkasnya.