Petani Curiga Penyusunan ISPO Dipengaruhi Asing yang Mau Kuasai Sawit RI

4 Juli 2024 18:40 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang petani membongkar muatan tandan buah segar (TBS) sawit di Desa Raja Bejamu Kabupaten Rokan Hilir, Riau, Rabu (19/2). Foto: ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid
zoom-in-whitePerbesar
Seorang petani membongkar muatan tandan buah segar (TBS) sawit di Desa Raja Bejamu Kabupaten Rokan Hilir, Riau, Rabu (19/2). Foto: ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid
ADVERTISEMENT
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat-Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung, curiga dalam proses penyusunan regulasi yang mengatur mandatori sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) tahun 2025 ada campur tangan asing yang ingin kuasai sawit Indonesia.
ADVERTISEMENT
Adapun ISPO ini diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Beleid ini mengatur perusahaan perkebunan sawit atau pekebun sawit wajib memiliki sertifikat ISPO paling lambat 5 tahun setelah Beleid diteken, yang artinya tahun 2025.
"Yang merancang peraturan Perpres ISPO itu dibayar negara luar. Rp 13 miliar dibayar. Konsultannya. Setelah selesai dikasih ke Kementan, Kemenko," kata Gulat dalam diskusi perkembangan industri sawit Indonesia di Kantor Kementan, Kamis (4/7).
"Draft yang mereka rancang sampai ke Pak Presiden Jokowi. Jungkir balik Apkasindo menahan jangan sampai diteken, tapi ketika COVID tahun 2020 mungkin karena kita panik karena COVID, Pak Jokowi teken. Di situ awal kehancuran petani sawit. Mandatori 2025 siap kah? Tidak," sambung Gulat.
ADVERTISEMENT
Gulat mengaku mendapat informasi pembahasan Perpres 44/2020 ini dilakukan di Singapura dan didanai oleh pihak asing. Saat ini ada wacana Perpres 44/2020 itu bakal direvisi. Gulat mengatakan pihaknya meminta Presiden terpilih Prabowo untuk menunda hal itu.
Gulat juga mengaku telah mendapat konfirmasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bahwa ada aliran dana asing masuk dalam proses penyusunan Perpres 44/2020 tersebut.
"Saya tanya PPATK, benar kah itu masuk, benar. Kalau dirupiahkan kurang lebih Rp 13 miliar masuk dana ke waktu perancangan ISPO. Direvisi Perpres ISPO masuk lagi (dana asing), makannya kemarin saya lapor ke KPK, ke Kejagung, periksa tim itu," tegas Gulat.
Asing Incar Sawit seperti Tembakau
Gulat curiga ISPO ini menjadi bagian dari upaya melemahkan industri sawit dalam negeri, sehingga kepemilikannya bisa dikuasai asing.
ADVERTISEMENT
Dirinya mencontohkan apa yang dialami di industri tembakau, ketika PT Philip Morris Indonesia, perusahaan afilisasi Philip Morris International melahap mayoritas saham PT HM Sampoerna Tbk pada Mei 2005 silam. PT Philip Morris Indonesia saat ini memiliki 92,5 persen saham Sampoerna.
Selain itu juga ada British American Tobacco yang melahap 85 persen saham di PT Bentoel International Investma Tbk (RMBA) pada tahun 2009 silam.
"Apakah itu yang dibuat mereka? Yes. Tujuannya ke sana pasti. Cepat atau lambat. Dibuat mekanisme korporasi-korporasi besar bisa bangkrut dibuat membayar denda," kata Gulat.
Apkasindo mencatat luas perkebunan sawit yang sudah ISPO per Oktober 2022 baru 3,68 juta hektare atau hanya 22,49 persen dari total luas 16,38 juta hektare.
ADVERTISEMENT
Jumlah tersebut terdiri dari perkebunan rakyat 6,72 juta ha (ISPO 20.910,47 atau hanya 0,31 persennya), perkebunan negara 980 ribu (ISPO 225.548,83 ha atau 26,08 persen), dan perkebunan swasta 8,68 juta ha (ISPO 3,4 juta ha atau 39,26 persennya).
"Hambatan yang ada di kami, kawasan hutan. Itu syarat utama ISPO clear kawasan hutan. Kedua adalah Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB)," kata Gulat.
Gulat mengatakan penerbitan STDB di pemerintah daerah sangat lambat. Dari 6,7 juta ha lahan perkebunan rakyar, baru 1,3 persen yang sudah punya STDB.
"Ketiga, pemahaman petani itu untuk apa ISPO kalau enggak ada manfaatnya. Harga Tandan Buah Segar (TBS) ISPO dan tidak ISPO sama, Rp 2.400," pungkasnya.