Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Pinjaman ADB untuk Transisi Energi Indonesia, Bantuan atau Jebakan Utang Baru?
22 September 2024 18:00 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Komitmen pembiayaan ADB dalam transisi energi ini dinilai menimbulkan sejumlah permasalahan. Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira mengatakan transisi energi membutuhkan dana yang cukup besar. Namun, bukan berarti RI perlu menambah beban utang lagi.
Jumlah utang pemerintah saat ini sudah lebih dari Rp 8.500 triliun. Belum ditambah beban utang jatuh tempo plus bunga di 2025 sebesar Rp 1.350 triliun, yang sebagian akan dibayar lewat penambahan utang baru.
“Maka estimasi tahun depan utang pemerintah bisa tembus Rp 9.500 hingga Rp 10.000 triliun. Tambahan beban utang baru dari ADB akan mempersempit ruang fiskal, dan meningkatkan ketergantungan pada utang luar negeri,” kata Bhima kepada kumparan, Minggu (22/9).
Selain ADB, Indonesia juga tak boleh melupakan skema kemitraan JETP yang hanya memberikan porsi hibah 1,32 perseb setara USD 284,4 juta dari total komitmen USD 21,6 miliar. Sementara pinjaman dengan persyaratan (concessional loan) cukup dominan.
Bhima menyebut, pemerintah idealnya lebih tegas dalam mendesak ADB, maupun lembaga keuangan internasional lain, agar memberikan porsi hibah lebih besar. Sebagai bentuk tanggung jawab negara maju dan lembaga multilateral dalam membantu negara berkembang.
ADVERTISEMENT
"Kondisinya deja vu dengan model SAP pada krisis 1998. Bedanya saat ini krisis iklim yang dijadikan jalan masuk oleh lembaga kreditur asing,” ungkap Bhima.
Dia mengatakan, sebagian besar dari dana yang diterima Indonesia yakni sebesar USD 300 juta akan diperuntukan bagi pembiayaan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).
Melalui inventarisasi media dan riset lapangan, CELIOS menemukan bahwa dari 18 PLTP terpasang, keberadaan 15 di antaranya diwarnai masalah. Terutama terkait kehidupan dan penghidupan masyarakat sekitar PLTP. Mulai dari dampak lingkungan, berupa keringnya tanaman produksi yang berpotensi disebabkan oleh keluaran gas hidrogen sulfida (H2S) dari pembangkit, dan pencemaran air tanah yang berkorelasi dengan proses fracking dan penyuntikan sisa pengolahan uap air ke dalam tanah. Selain itu, juga ada dampak penghidupan atas hilangnya tanah garapan.
Tak hanya itu, seringkali terjadi penyelewengan hukum adat dan proses sertifikasi tanah yang berujung pada konflik sosial. Utamanya, dampak kesehatan bagi para warga sekitar yang kerap terjadi karena kecelakaan kerja berupa kebocoran atau meledaknya pipa uap sumur atau pembangkit. Ini mengakibatkan ratusan orang dilarikan ke rumah sakit karena keracunan, bahkan berujung kematian.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Direktur ADB untuk Indonesia, Jiro Tominaga, mengatakan program transisi energi yang terjangkau dan berkelanjutan akan mendukung berbagai langkah kebijakan Indonesia dalam mencapai kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC) dan target emisi bersih nol dari pembangkitan listrik pada 2050.
“Indonesia berada di persimpangan yang sangat penting dalam perjalanan transisi energinya,” kata Jiro.
Jiro menjelaskan, pesatnya pertumbuhan kapasitas pembangkitan listrik telah membantu Indonesia mengatasi sebagian besar kendala pasokan listriknya. Tetapi mengakibatkan sangat ketergantungan kelistrikannya pada sumber tenaga berbasis bahan bakar fosil seperti batubara, gas, dan diesel.