PLN Bidik Kapasitas Pembangkit EBT dan Gas Bertambah 80 GW di 2040

6 Maret 2024 16:09 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo di Kantor Pusat PLN, Rabu (20/12/2023). Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo di Kantor Pusat PLN, Rabu (20/12/2023). Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparan
ADVERTISEMENT
PT PLN (Persero) menargetkan penambahan kapasitas pembangkit berbasis energi baru terbarukan (EBT) dan gas sebesar 80 gigawatt (GW) pada tahun 2040 dalam Rancangan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) terbaru.
ADVERTISEMENT
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo menyebutkan, dalam RUPTL terbaru yang drafnya sudah siap diterbitkan, penambahan kapasitas pembangkit mayoritas dari EBT sebesar 75 persen dan pembangkit gas 25 persen.
"Bahwa sampai tahun 2040, penambahan kapasitas pembangkit totalnya sekitar 80 gigawatt, 75 persennya berbasis pada energi baru terbarukan, 25 persennya adalah berbasis pada gas," ungkap Darmawan saat Road to PLN Investment Day, Rabu (6/3).
Tidak hanya itu, RUPTL tersebut juga mencanangkan pembangkit beban dasar (baseload) ditetapkan 3 jenis, yaitu pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) atau geothermal, pembangkit listrik tenaga gas (PLTG), dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
"Karena ada Perpres tentang EBT 2 tahun lalu, sudah melarang untuk masuk RUPTL perancangan dari pembangkit listrik berbasis pada batu bara. Jadi, baseload-nya hanya 3 yaitu gas, hidro, dan ada juga geothermal," jelas Darmawan.
ADVERTISEMENT
Darmawan memastikan, perubahan RUPTL ini akan sejalan dengan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang diterbitkan Kementerian ESDM. Sebab, dia mengakui keduanya selama ini tidak terkait satu sama lain.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo di Istora Senayan, Kamis (31/8/2023). Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparan
"RUKN dengan RUPTL, hari ini akur. Kami kaget, kok pemikirannya sama-sama, paham bahwa bumi memanas, dan kita berusaha mengurangi emisi dari gas rumah kaca. Tapi, listriknya, harganya juga tetap affordable, sistemnya tetap reliable, dan juga secara environment sustainable grid," tutur dia.
Adapun dalam RUPTL 2021-2030 yang masih berlaku saat ini, rencana penambahan pembangkit EBT hanya sebesar 20,9 GW atau 51,6 persen dari total bauran energi primer.
Dalam RUPTL tersebut, Kementerian ESDM dan PLN menghapus rencana pembangunan PLTU batu bara hingga 13 GW PLTU, di mana 1,1 GW PLTU digantikan dengan EBT, dan 800 MW PLTU digantikan dengan pembangkit gas.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Darmawan menuturkan PLN bersama Kementerian ESDM sepakat revisi RUPTL 2023-2033 menggunakan skenario bernama acclereated renewable energy development with coal phase down.
Ilustrasi saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET) PLN. Foto: PLN
"Tadinya RUPTL saat ini ada penambahan 20,9 GW atau 51,6 persen, selanjutnya untuk draft RUPTL 2024-2033 75 persen penambahan EBT sebesar 31,6 GW, pembangkit gas 25 persen sebesar 10,5 GW," ungkap Darmawan saat rapat dengan Komisi VII DPR, Rabu (15/11).
Rinciannya, penambahan pembangkit EBT bersifat baseload sebesar 31 GW, EBT bersifat intermiten yaitu variabel angin dan solar sekitar 28 GW, kemudian energi baru alias nuklir sebesar 2,4 GW dan bisa bertambah menjadi 5-6 GW.
Darmawan melanjutkan, selain penambahan 75 persen EBT dan 25 persen pembangkit gas, melalui skenario ini pembangkit yang berbasis batu bara alias PLTU masih tetap beroperasi sampai masa akhir kontrak, namun dengan penambahan teknologi Carbon Capture and Storage (CCUS).
ADVERTISEMENT
Meskipun membutuhkan investasi (capital expenditure/capex) yang besar, tetapi biaya operasional (operational expenditure/opex) skenario ini cenderung rendah, ditambah keandalan sistem yang lebih baik dari skenario lain.
"Ada beberapa pembangkit yang berbasis gas kita tempatkan pada epicentrum dari demand, sehingga ada evakuasi daya menggunakan transmisi, ada juga penambahan pembangkit gas yang nanti jadi penyeimbang," jelas Darmawan.