PMI RI Turun Jadi 50,7 di Juni 2024, Industri Manufaktur Butuh Policy Adjustment

1 Juli 2024 23:21 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi perempuan pekerja industri. Foto: Kemenperin
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan pekerja industri. Foto: Kemenperin
ADVERTISEMENT
Ekspansi Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia berada di level sebesar 50,7 pada Juni 2024. Perolehan tersebut turun 1,4 poin jika dibandingkan dengan capaian Mei 2024 yang berada di level 52,1.
ADVERTISEMENT
Economics Director S&P Global Market Intelligence, Trevor Balchin menyampaikan, PMI masih bertahan di atas tren rata-rata jangka panjang, namun perkiraan Indeks Output Masa Depan tidak bergerak dari posisi pada bulan Mei dan merupakan bagian dari yang terendah dalam rekor.
Hal ini menggambarkan kekurangan perekrutan pada bulan Juni, dan penurunan pertama pada penumpukan pekerjaan dalam tujuh bulan. Arah pergerakan menunjukkan penurunan drastis pada permintaan baru di awal semester kedua pada tahun ini, yang merupakan kontraksi kedua sejak pertengahan 2021.
Merespons hal tersebut, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengatakan, peringatan dini dari S&P ini harus diantisipasi agar Indonesia tidak lagi kehilangan momentum peningkatan pertumbuhan sektor manufaktur sebagaimana negara industri dunia lainnya
“Hingga Juni 2024, Alhamdulillah sektor manufaktur masih menunjukkan kinerja yang positif. Kami mengucapkan terima kasih atas kerja keras para pelaku industri yang terus mempertahankan produktivitas dan menjaga harapan bisnisnya untuk 12 bulan mendatang, terutama dalam kondisi bisnis yang dipengaruhi oleh perlambatan permintaan saat ini,” ujar Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif di Jakarta, Senin (1/7).
ADVERTISEMENT
Kemenperin menggaris bawahi laporan S&P Global yang menyebutkan, pertumbuhan sektor manufaktur kehilangan momentum pada Juni 2024. Hal tersebut disebabkan oleh kenaikan yang lebih lambat pada output, permintaan baru, dan penjualan.
Jubir Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif. Foto: Kemenperin
Kondisi tersebut juga memengaruhi kepercayaan diri terhadap output 12 bulan mendatang, yang tidak bergerak dari posisi terendah seperti bulan Mei lalu dan satu di antara yang terendah dalam rekor.
“Sektor industri saat ini memang sudah masuk ke kondisi alarming. Para pelaku industri menurun optimismenya terhadap perkembangan bisnis mendatang. Hal ini dipengaruhi oleh melemahnya pertumbuhan pesanan baru yang dipengaruhi oleh kondisi pasar, restriksi perdagangan di negara lain, juga regulasi yang kurang mendukung,” papar Febri.
Regulasi yang dimaksud, menurut Febri, adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Peraturan tersebut merelaksasi impor barang-barang dari luar negeri yang sejenis dengan produk-produk yang dihasilkan di dalam negeri. Hal ini menyebabkan turunnya optimisme para pelaku industri, yang berpengaruh pada penurunan PMI.
ADVERTISEMENT
“Tidak seperti sebagian negara peers yang mengalami kenaikan PMI manufaktur, di Indonesia turun cukup dalam. Perlu adanya penyesuaian kebijakan untuk mendongkrak kembali optimisme dari pelaku Industri,” tegas Jubir Kemenperin.
Ilustrasi produksi di pabrik Daihatsu Jepang. Foto: Nikke
Penyesuaian kebijakan atau policy adjustment yang diperlukan antara lain mengembalikan pengaturan impor ke Permendag No. 36 Tahun 2023, serta pemberlakuan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk sejumlah komoditas.
Negara-negara manufaktur global, seperti RRT, India, Taiwan, Korea Selatan, Thailand, dan Vietnam mengalami kenaikan ekspansi. Di wilayah ASEAN, PMI manufaktur Thailand naik dari 50,3 pada Mei 2024 menjadi 51,7 di bulan Juni 2024, sedangkan Vietnam naik tajam dari 50,3 pada Mei 2024 menjadi 54,7 di bulan Juni 2024.
ADVERTISEMENT
Kondisi darurat yang dialami industri manufaktur dapat dilihat dari fenomena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang disebabkan penurunan permintaan pasar global dan membanjirnya produk impor yang ‘dilempar’ ke pasar dalam negeri akibat restriksi perdagangan oleh negara-negara lain. Menurut Febri, apabila Indonesia tidak menerapkan peraturan terkait hal tersebut, produk-produk impor akan semakin membanjiri pasar dan memukul mundur produk-produk dalam negeri.
Para pelaku industri juga menyatakan perlunya penyesuaian peraturan yang saat ini berjalan. Kompartemen Sumber Daya Manusia Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Harrison Silaen menyampaikan, bahwa pemerintah perlu memiliki arah jelas untuk menangani masalah industri tekstil jika menganggap industri tersebut penting. Saat ini, pengusaha lokal sulit bersaing dengan produk tekstil yang masuk dengan masif.
ADVERTISEMENT