Prabowo Mau Wujudkan B100, Tapi RI Sudah Defisit Sawit saat B50 Diterapkan

27 Mei 2024 16:03 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah truk pengangkut Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit mengantre untuk pembongkaran di salah satu pabrik minyak kelapa sawit milik PT.Karya Tanah Subur (KTS) Desa Padang Sikabu, Kaway XVI, Aceh Barat, Aceh, Selasa (17/5/2022). Foto: Syifa Yulinnas/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah truk pengangkut Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit mengantre untuk pembongkaran di salah satu pabrik minyak kelapa sawit milik PT.Karya Tanah Subur (KTS) Desa Padang Sikabu, Kaway XVI, Aceh Barat, Aceh, Selasa (17/5/2022). Foto: Syifa Yulinnas/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menghitung Indonesia akan defisit minyak sawit (CPO) bila menerapkan kebijakan B50. Saat ini pemerintah menerapkan B35, dan bertahap akan ditingkatkan sebagai upaya bauran energi. Bahkan presiden terpilih Prabowo Subianto optimis Indonesia bisa mencapai B100.
ADVERTISEMENT
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan peningkatan bauran bahan bakar nabati (BNN) minyak sawit (crude palm oil/CPO) dengan Solar menjadi 40 persen alias biodiesel 40 (B40) dilakukan tahun 2025 nanti.
"Kami hitung di Dewan Minyak Sawit Indonesia, dengan asumsi kebutuhan stabil, tapi B yang meningkat, biodiesel. Apa yang terjadi? Pada B50 kita sudah minus 1,2 juta ton CPO," kata Ketua Umum Apkasindo, Gulat Manurung saat diskusi publik di kantor Ombudsman, Jakarta, Senin (27/5).
Dalam hitungannya, untuk penerapan B35 saat ini total kebutuhan untuk solar per tahun sebesar 33 juta ton per tahun, feme sawit 11,5 juta ton per tahun, CPO 11,37 juta ton per tahun. Kemudian untuk kebutuhan di sektor pangan 10,391 juta ton per tahun dan untuk sektor industri oleokimia 2,279 juta ton per tahun.
ADVERTISEMENT
Bila B40 diterapkan, dengan asumsi kebutuhan solar, pangan, dan industri oleokimia tetap, akan ada tambahan serapan CPO untuk campuran bahan bakar sebanyak 1,62 juta ton. Kebutuhan CPO untuk campuran bahan bakar akan naik ke level 3,25 juta ton bila diterapkan B50, dan terjadi defisit 1,2 juta ton CPO.
"Artinya kita enggak ada ekspor. Kalau enggak ada ekspor kita enggak dapat devisa," kata Gulat.
Maka yang diperlukan Indonesia, kata Gulat, adalah menggenjot produksi sawit nasional, di saat produksinya kini sedang stagnan.
Hal senada juga dikatakan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono. "Kalau produktivitas tidak naik, konsumsi kita naik terus, pasti yang dikorbankan adalah devisa kita," kata Eddy.
Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono. Foto: Muhammad Darisman/kumparan
Gapki menghitung aat ini produksi CPO di Indonesia mencapai 50 juta ton secara tahunan. Perkiraan pemakaian B40 membutuhkan bahan baku CPO 14 juta ton. Sementara CPO untuk kebutuhan pangan alias minyak goreng sekitar 11 juta ton. Jadi, total kebutuhan dalam negeri sekitar 25 juta ton.
ADVERTISEMENT
Meski cukup, implementasi B40 diprediksi akan mengurangi porsi ekspor CPO dari Indonesia. Apalagi kinerja ekspor CPO sedang turun seiring lesunya permintaan global.
"Saat ini ekspor agak lemah karena perekonomian di China agak masalah. Lalu ada masalah global yang tidak menguntungkan, di kuartal pertama 2024," pungkasnya.
Prabowo Subianto sebelumnya menyinggung soal mimpi Indonesia yang kelak tidak lagi mengimpor solar dan bensin lantaran bisa memproduksi solar biodiesel dari kelapa sawit dan singkong.
"Kita sekarang sudah punya teknologi untuk solar kita dari kelapa sawit, kita sekarang sudah menghasilkan B35 tapi sudah uji coba B100. Kita sudah bisa bikin B100," kata Prabowo ketika menghadiri wisuda Universitas Kebangsaan Republik Indonesia (UKRI) di Kota Bandung pada Kamis (29/2).
ADVERTISEMENT
"Artinya, solar biodiesel dari kepala sawit 100 persen. Kita bisa bayangkan enggak? Kita enggak akan impor lagi solar dari luar negeri. Karena kita punya produksi kelapa sawit sekarang 48 juta ton, mungkin dua tahun lagi akan menjadi 70 juta ton," ujarnya.