Prabowo Perlu Gencarkan Transisi Energi Jika Ingin Ekonomi Tumbuh 8 Persen

26 Oktober 2024 11:48 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Prabowo Subianto memimpin sidang kabinet paripurna perdana, Rabu (23/10/2024). Foto: Instagram/@prabowo
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Prabowo Subianto memimpin sidang kabinet paripurna perdana, Rabu (23/10/2024). Foto: Instagram/@prabowo
ADVERTISEMENT
Presiden Prabowo Subianto dinilai perlu menggencarkan strategi transisi energi jika ingin mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8 persen selama masa pemerintahannya.
ADVERTISEMENT
Managing Director Energy Shift Institute (ESI), Putra Adhiguna, menilai percepatan transisi ke energi terbarukan menjadi kunci agar Indonesia dapat swasembada energi, seperti yang dicita-citakan Prabowo dalam pidatonya saat dilantik.
Sebaliknya, ketergantungan Indonesia pada energi fosil yang akan terus turun produksinya, justru mengancam cita-cita tersebut. Karenanya, Prabowo perlu menetapkan kebijakan dan regulasi yang mendorong investasi energi terbarukan, bukan energi fosil.
Putra menegaskan, transisi energi menjadi krusial dengan target pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen. Hal ini mengingat, energi merupakan pondasi bagi pertumbuhan di sektor ekonomi mana pun, sementara perusahaan global semakin menuntut tersedianya energi bersih di negara tujuan investasi mereka.
“Transisi energi adalah perkara daya saing Indonesia di level global, perkara daya saing menarik investasi industri berkualitas dan menciptakan lapangan kerja. Karenanya, transisi energi lebih luas dari perihal terkait PLN, pemerintah lah yang harus berhitung untung rugi ekonomi bila tidak memiliki suplai energi bersih,” katanya dalam keterangan resmi, dikutip Sabtu (26/10).
PLTA Jatigede, Sumedang, Jawa Barat, Selasa (3/9). Foto: Argya D. Maheswara/Kumparan
Putra juga menggarisbawahi pentingnya perencanaan yang matang di sektor energi untuk mendorong pembangunan, sekaligus menghindari beban jangka panjang. Dalam hal ini, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo perlu mendorong Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang lebih presisi dan dapat dijadikan patokan oleh investor.
ADVERTISEMENT
Selain itu, menurut dia. pemerintah juga perlu memberikan kejelasan regulasi, yakni undang-undang terkait energi terbarukan. Saat ini, rancangan undang-undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) belum kunjung disahkan.
“Pengalaman selama ini menunjukkan kalau Permen (peraturan menteri) saja tidak cukup, Perpres (peraturan presiden) saja tidak bisa jalan, jadi perlu ada kejelasan terkait undang-undang energi terbarukan,” tegas Putra.
Analis Kebijakan Energi International Institute for Sustainable Development (IISD), Anissa Suharsono, menyatakan sektor energi Indonesia berkaitan erat dengan politik dan kepentingan energi fosil.
Dengan begitu, kata dia, transisi ke sistem energi yang lebih bersih membutuhkan perubahan fundamental pada kebijakan energi Indonesia, yang hanya dapat dicapai dengan kemauan politik yang kuat. Prabowo dinilai memiliki pondasi kuat di awal kepemimpinannya untuk menjalankan aksi yang dibutuhkan, salah satunya reformasi subsidi energi.
ADVERTISEMENT
Anissa melanjutkan, transisi energi tidak akan dapat direalisasikan tanpa pemerintah mengatasi berbagai hambatan terhadap perkembangan energi terbarukan, seperti ketentuan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), tarif energi terbarukan, dan subsidi energi fosil yang merugikan energi terbarukan.
"Iklim investasi yang stabil hanya dapat terbentuk jika pemerintah memiliki peta jalan yang jelas dan mengikat secara hukum, seperti yang telah diidentifikasi dalam dokumen CIPP JETP,” kata Anissa.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia CERAH, Agung Budiono, menambahkan Indonesia tidak akan bisa swasembada energi selama masih sangat bergantung pada energi fosil. Pasalnya, saat ini pun, Indonesia sudah mengimpor seluruh jenis bahan bakar fosil, termasuk batu bara.
PLTS Ground-Mounted Terbesar di Indonesia, berlokasi di Purawakarta, Jawa Barat, Rabu (28/8/2024). Foto: Dok. PLN
Seiring berkurangnya cadangan dan produksi, lanjut dia, dikhawatirkan impor energi fosil akan membesar, jika Indonesia tidak secara cepat bertransisi ke energi terbarukan.
ADVERTISEMENT
“Perlu diingat, hingga kini Indonesia belum memiliki regulasi terkait transisi energi pada level undang-undang. Padahal, payung hukum ini penting agar regulasi di bawahnya bisa selaras, yang pada akhirnya dapat menjadi daya tarik investasi energi terbarukan di Indonesia,” kata Agung.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia mengimpor minyak mentah hingga 132,39 juta barel sepanjang tahun 2023. Tak hanya itu, Indonesia juga mengimpor produksi jadi olahan minyak sampai 26,89 juta kiloliter (KL) dan LPG 6,95 juta ton. Bahkan, pada tahun yang sama, Indonesia juga mengimpor batu bara walau dalam volume kecil, yakni 14,46 juta ton.
Di sisi lain, pengembangan energi terbarukan Indonesia masih lambat. Pada 2023, bauran energi terbarukan nasional baru mencapai 13,1 persen, jauh dari target 25 persen pada 2025. Namun, bukannya menyusun strategi untuk menggenjot energi terbarukan, pemerintah justru berencana menurunkan target baurannya menjadi 17-19 persen pada 2025.
ADVERTISEMENT