Rachmat Gobel Ungkap Syarat Agar RI Sukses Batasi Impor Elektronika

14 Mei 2024 14:57 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wakil Ketua DPR RI Bidang Korinbang, Rachmat Gobel. Foto: Tim Humas DPR
zoom-in-whitePerbesar
Wakil Ketua DPR RI Bidang Korinbang, Rachmat Gobel. Foto: Tim Humas DPR
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua DPR Bidang Korinbang, Rachmat Gobel, mendukung langkah pemerintah menertibkan impor produk elektronika. Ia menegaskan harus ada keberpihakan yang jelas terkait pembatasan tersebut.
ADVERTISEMENT
“Harus ada pemihakan yang jelas dan tegas. Ada tiga hal yang perlu menjadi pegangan: patuhi ketentuan TKDN, harus ada konsep industrialisasi, dan harus berwawasan lingkungan,” kata Rachmat melalui keterangan tertulis, dikutip pada Selasa, (14/5).
Pernyataan tersebut disampaikan Gobel menyambut terbitnya Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 6 Tahun 2024 tentang Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis Impor Produk Elektronik. Penerbitan Permenperin itu merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Joko Widodo tentang defisit neraca perdagangan produk elektronika pada 2023.
Terdapat 139 pos tarif elektronika yang diatur dalam Permenperin tersebut, dengan rincian 78 pos tarif diterapkan Persetujuan Impor (PI) dan Laporan Surveyor (LS), serta 61 pos tarif lainnya diterapkan hanya dengan LS. Di antara jenis produk dari 78 pos tarif tersebut di antaranya adalah AC, televisi, mesin cuci, kulkas, kabel fiber optik, kulkas, dan laptop.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan keterangan pemerintah, pada 2023, untuk produk AC saja dari kapasitas terpasang produksi AC sebesar 2,7 juta unit tetapi realisasinya cuma memproduksi 1,2 juta unit. Artinya, utilisasi produksinya hanya 43 persen. Namun ternyata, akibat banjir impor, pada 2023 Indonesia mengimpor 3,8 juta unit.
Gobel mengatakan untuk mengerem laju impor sebetulnya Indonesia sudah memiliki ketentuan tentang Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang harus mencapai 40 persen. Namun ketentuan ini masih sering dilanggar.
Jika ada yang memenuhi ketentuan TKDN, katanya, ternyata hal itu masih bisa diakali. Sehingga seolah-olah memenuhi batas minimal 40 persen. Untuk itu, ia meminta pemerintah memberikan syarat kedua, yaitu keharusan ada konsep industrialisasinya.
“Tujuan mengerem laju impor dan ketentuan TKDN itu kan sebetulnya agar industri dalam negeri tumbuh dan investasi masuk sehingga tenaga kerja terserap, devisa terhemat, dan ekonomi tumbuh pesat," ujar Gobel.
ADVERTISEMENT
"Nah, pemenuhan TKDN tanpa konsep industrialisasi hanya menghasilkan akal-akalan saja. Apa itu konsep industrialisasi? Dari setiap produk yang ada harus diimbangi dengan berdirinya industri komponen suku cadangnya,” tambahnya.
Gobel mengungkapkan syarat ketiga adalah keharusan produk yang ramah lingkungan. Hal ini sesuai dengan target pemerintah untuk mewujudkan net zero emission. Sebagai contoh, ia menyebutkan maraknya impor AC. Produk AC impor tersebut sebagian besar merupakan berkualitas rendah, tidak ramah lingkungan, dan tidak memiliki suku cadang jika ada kerusakan.
“Tiga hal ini sangat merugikan konsumen karena produk tersebut selain tidak membuat dingin ruangan juga cepat rusak dan akan menjadi barang rongsok,” ungkap Gobel.
Gobel mengingatkan, Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar. “Jumlah penduduk yang besar ini merupakan kekuatan tersendiri. Harus bisa didayagunakan dengan sebaik-baiknya. Jika tidak maka jumlah penduduk yang besar akan menjadi beban yang sangat besar,” tutur Gobel.
ADVERTISEMENT
Pertama, jumlah penduduk yang besar berarti ketersediaan tenaga kerja yang besar. Apalagi Indonesia sedang berada dalam fase bonus demografi. Ini berarti jumlah tenaga produktif sangat besar. Kedua, jumlah penduduk besar berarti jumlah pasar yang besar.
“Hal kedua ini yang bikin ngiler negara lain untuk menjadikan Indonesia sebagai target pasar mereka. Dengan segala cara pasti mau mereka lakukan. Jika pertahanan Indonesia mudah ditembus untuk menjadi banjir impor maka ada banyak kerugian yang menimpa Indonesia dan seperti memberi makan buaya yang kemudian mencabik-cabik kita sendiri. Ini namanya kebodohan yang berulang,” kata Gobel.
Gobel menilai setidaknya ada lima kerugian akibat Indonesia menjadi negara pelahap impor. Pertama, uang Indonesia untuk membiayai pekerja dan keluarga negara lain. Kedua, pekerja Indonesia kehilangan lapangan pekerjaan.
ADVERTISEMENT
"Untuk AC saja, dari kapasitas terpasang pada industri AC hanya 43 persen yang didayagunakan. Ini berarti kerugian pada industri dan juga ketidakterserapan tenaga kerja," ujar Gobel.
Ketiga, jika produk impor tersebut digunakan untuk proyek pemerintah atau BUMN, maka dana negara dan dana APBN digunakan untuk membiayai negara lain. Padahal negara dengan susah payah mengumpulkan pajak. Bahkan Bea Cukai dihujat netizen akibat pengetatan masuknya barang dari luar negeri.
“Sudah kerja keras, eh duitnya buat bangsa lain. Ini namanya apa coba?” ujar Gobel.
Keempat, akibat tidak terserapnya tenaga kerja karena industrinya kebajiran impor maka Indonesia kehilangan potensi tenaga-tenaga kreatif karena mereka menganggur. Kelima, akibat pengangguran yang meningkat maka kemiskinan pun meningkat. Mereka kemudian harus mendapat bansos maupun pembiayaan jaminan sosialnya ditanggung negara, yang semuanya menggunakan dana APBN.
ADVERTISEMENT
“Jadi akibat jebolnya tanggul impor, Indonesia rugi berlipat-lipat,” tutur Gobel.