Rantai Produktivitas Pertanian Dinilai Bisa Terganggu PPN 12 Persen

22 Desember 2024 21:26 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Buruh tani menyiapkan bibit padi yang akan ditanam di kawasan persawahan di Cibiru Hilir, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (3/12/2024). Foto: Raisan Al Farisi/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Buruh tani menyiapkan bibit padi yang akan ditanam di kawasan persawahan di Cibiru Hilir, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (3/12/2024). Foto: Raisan Al Farisi/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
PPN 12 persen yang berlaku mulai 2025 dinilai bisa membuat rantai produktivitas di sektor komoditas pertanian dari hulu ke hilir bisa terganggu.
ADVERTISEMENT
Pengamat Pertanian Syaiful Bahari mengatakan dari hulu pertanian terdapat banyak pekerjaan dan input produksi untuk melakukan satu rangkaian produksi pertanian. Salah satunya, dari sisi pupuk yang tak semua petani di seluruh Indonesia mendapatkan fasilitas pupuk bersubsidi.
"Nah, ada banyak petani juga membeli pupuk yang di luar dari pupuk subsidi. Oke lah, bahwa kebijakan pupuknya itu tidak terkena, tetapi proses untuk memproduksi pupuk itu, itu kan rantainya juga panjang. Jadi ada banyak komponen-komponen input produksi di pupuk itu juga terkena PPN-nya," kata Syaiful kepada kumparan, Minggu (22/12).
Meski komoditas pertanian tak termasuk dalam golongan tertentu bakal kena PPN 12 persen, Syaiful meminta pemerintah harus melihat keseluruhan proses pertanian hingga terciptanya komoditas pangan agar tak menjadi beban di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
"Nah, sehingga kemudian, meskipun dikatakan bahwa itu tidak terkena, tidak menjadi objek PPN 12 persen, itu juga untuk kemudian mencapai output produksinya itu ada begitu banyak rangkaian. Nah, jadi saya kira itu yang menjadi beban," jelas Syaiful.
Selanjutnya, kata Syaiful, dampak PPN 12 persen harus dilihat dari sisi obat-obatan seperti pestisida, benih. Kemudian juga faktor lain, misalnya tenaga kerja. Syaiful berpendapat, hal itu terkait penambahan biaya dan beban produksi di sektor pertanian.
Syaiful menjelaskan dari hilirnya, khususnya beras, pemerintah mesti pandai dan tak boleh simpang siur dalam menggolongkan terkait beras medium konsumsi tak kena PPN.
"Itu juga kan ada kategorinya, ada yang memang disebut medium yang tidak terkena (PPN), tapi kemudian ada istilah beras premium. Nah, kategori premium ini kan kemarin, kalau tidak salah, Menko Airlangga itu menyatakan juga terkena (PPN) karena dianggap beras barang mewah," ungkap Syaiful.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Syaiful menganggap PPN 12 persen ini bisa menaikkan Harga Pokok Penjualan (HPP) dari produksi komoditas pertanian. Menurutnya, hal ini ikut berdampak pada meningkatnya inflasi pangan di tahun 2025.
"Nah jadi, belum lagi misalnya produktivitas menurun di 2025 ini, potensi untuk menurunnya itu cukup besar ya, karena juga faktor iklim atau cuaca," tutur Syaiful.
"Nah jadi, kita belum memprediksikan apakah akan terjadi kenaikan harga beras lagi atau komunitas pangan yang lain, itu sih sebetulnya sudah pasti ya. Tinggal kemudian ini dengan penambahan PPN 12 persen justru malah makin menjadi bebannya," tambahnya.