Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto tak berucap sepatah kata pun usai rapat koordinasi khusus di Kantor Kemenko Polhukam, 20 Februari 2020. Rapat itu membahas perkembangan pengadaan alat utama sistem persenjataan TNI, termasuk 11 unit Sukhoi Su-35 —pesawat tempur generasi 4++ pabrikan Rusia yang telah lama dinanti Angkatan Udara RI.
Ketika itu, Prabowo hanya melambaikan tangan kepada kerumunan wartawan sambil berlalu menuju mobil dinasnya.
Sementara Menko Polhukam Mahfud MD—yang sempat bertemu Duta Besar Rusia untuk RI Lyudmilla Georgievna Vorobieva pada Desember 2019—berkata singkat: “Tak ada pembicaraan soal Sukhoi.”
Lima hari kemudian, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan pemerintah RI masih menimbang beberapa hal terkait rencana pembelian Sukhoi Su-35. “Bukan cuma urusan B2B (business-to-business terkait transaksi komersial), tapi ada faktor-faktor lain.”
Pertengahan Maret, Dubes Vorobieva kepada Bloomberg menyatakan, “Bukan rahasia lagi bahwa Amerika Serikat nyata-nyata menekan negara-negara yang berniat membeli peralatan pertahanan Rusia.”
Indonesia tak terkecuali dari tekanan AS. “Tujuannya jelas: untuk membuat negara-negara di dunia berbalik dari Rusia dan beralih ke AS. Ini tentu saja suatu persaingan (dagang) yang tak sehat dan melanggar norma bisnis,” ujar Vorobieva.
Kepada negara-negara yang berani-berani melirik alutsista Rusia untuk dibeli, AS punya senjata untuk menjegal: seperangkat aturan hukum bikinin mereka sendiri yang dinamai Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) alias Melawan Musuh AS dengan UU Sanksi.
Menjegal Rusia
Perang Dingin tak pernah sepenuhnya berlalu. Meski Donald Trump dan Vladimir Putin saling tersenyum, berangkulan, dan berjabat tangan saat bertemu, mereka tetaplah seteru. Termasuk dalam urusan menjual senjata ke berbagai negara.
Masa lalu adalah masa kini. Amerika-Rusia sejak dulu berkompetisi, dan mungkin akan begitu sampai nanti. Dan sejak 2017, AS bertekad menjegal pengaruh global Moskow dengan menggencet negara-negara yang hendak bekerja sama dengannya di sektor pertahanan.
“Kami telah menegaskan bahwa jika sistem (persenjataan Rusia) itu dibeli, Undang-Undang CAATSA akan menjatuhkan sanksi pada rezim tersebut,” kata Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dalam rapat Senat di Washington, April 2019.
“Saya benar-benar berharap mereka tak meneruskan pembelian itu,” imbuh Pompeo, merujuk pada rencana Mesir memborong 24 unit Sukhoi Su-35 senilai US$ 2 miliar yang kesepakatannya diteken sebulan sebelumnya.
Itu kali pertama Amerika berupaya menjegal jual beli senjata antara Moskow dan Kairo. Itu juga kali pertama AS menggunakan CAATSA untuk menggertak Mesir, salah satu sekutu kuatnya di Timur Tengah.
Dan bukan hanya Mesir yang menjadi target CAATSA, tapi juga Turki—sekutu AS di NATO—yang berkeras membeli S-400 Triumf, sistem pertahanan rudal rancangan Rusia yang ditahbiskan The Economist sebagai “satu dari yang terbaik”.
Ancaman serupa datang kepada India yang menandatangani pembelian lima unit S-400 Triumf seharga US$ 5,2 miliar pada 2018. India—sekutu Uni Soviet di masa Perang Dingin—adalah pembeli loyal sistem persenjataan Rusia. The Diplomat melansir, selama sepuluh tahun (2004–2014) sekitar 75 persen impor senjata India berasal dari Rusia.
Kini, tiba-tiba AS—atas nama CAATSA—meminta India untuk berhenti membeli senjata dari Rusia, membatalkan kontrak pembelian S-400 Triumf, dan mencoret Rusia dari daftar pemasok senjatanya.
CAATSA bahkan menyasar China. September 2018, AS menjatuhkan sanksi kepada salah satu departemen di militer China karena terlibat transaksi signifikan dengan eksportir senjata Rusia, Rosoboronexport—yang sebetulnya biasa-biasa saja mengingat China adalah konsumen tradisional Rusia dan 68 persen impor senjatanya berasal dari negara itu.
China malahan merupakan importir pertama jet tempur Sukhoi Su-35. Sejak 2015, China memesan 24 unit Su-35 senilai US$ 2,5 miliar. Pada 2018, China juga membeli dua unit S-400 Triumf seharga US$ 3 miliar. Ini sama sekali tak mengherankan karena China adalah negara dengan belanja militer terbesar kedua di dunia setelah AS.
Senjata Bernama CAATSA
Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act adalah undang-undang bikinan AS yang memungkinkan negara adidaya itu untuk menjatuhkan sanksi pada pihak-pihak yang membeli persenjataan dari Rusia.
Bab 231 CAATSA mengatur bahwa perusahaan atau individu dari negara ketiga mana pun yang terlibat dalam transaksi signifikan dengan sektor pertahanan dan intelijen Rusia akan menerima penalti.
Dan kenapa harus Rusia—sang seteru di era Perang Dingin?
Karena Kongres AS menganggap Rusia pantas mendapat hukuman setimpal atas berbagai ulah berandalnya. Sebut saja intervensi militer di Suriah; agresi ke Krimea, Ukraina; aneksasi di Georgia; operasi siber agresif di Amerika dan Eropa; serta intervensi dalam Pemilihan Presiden AS 2016.
Namun, menurut situs geopolitik Stratfor Worldview , CAATSA yang berlaku mulai Januari 2018 itu bukan hanya berfungsi untuk menghukum Rusia, tapi juga memperluas jangkauan penjualan senjata AS. Bagaimanapun, Rusia dan AS adalah dua eksportir senjata terbesar di dunia. Ini kompetisi keras dengan cara-cara tak biasa. Jegal-menjegal bukannya luar biasa.
Apa yang terjadi bila AS menjatuhkan sanksi CAATSA pada negara yang berkukuh menjalin kerja sama pertahanan dengan Rusia?
Lima sanksi—atau lebih banyak dari itu—bahkan dapat dijatuhkan sekaligus. Meski demikian, negara-negara dunia ketiga sekarang ini bisa sangat tegas untuk menolak terikat pada satu negara. Bagi mereka, ketergantungan kepada AS bukan pilihan.
Menolak Tunduk
Menteri Luar Negeri India S. Jaishankar dalam kunjungannya ke Washington, akhir September 2019, menyatakan memahami keprihatinan AS soal pembelian senjata negaranya ke Rusia, namun menolak untuk memberikan keputusan final soal itu.
“Apa yang kami beli adalah hak berdaulat kami. Kami tak ingin negara mana pun mengatakan pada kami tentang apa yang harus dibeli atau tidak dibeli dari Rusia, atau apa yang harus dibeli atau tidak dibeli dari Amerika,” katanya kepada wartawan sebelum bertemu Menlu AS Mike Pompeo.
Sementara Mesir mengisyaratkan akan melanjutkan kesepakatan pembelian dua lusin Sukhoi Su-35 sambil merespons reaksi negatif AS dengan hati-hati. Kairo yakin Washington tetap memerlukan kerja sama mereka untuk mendorong stabilitas di Timur Tengah.
Sikap menentang juga muncul dari Turki. Arab News melaporkan, negara itu kian terlibat ketegangan dengan AS ketika secara tak terduga menguji komponen sistem radar S-400 Triumf di Ankara selama dua hari berturut-turut.
AS lantas mengeluarkan Turki dari program kerja sama manufaktur multinasional F-35, dan melarang penjualan jet-jet tempur pabrikan Lockheed Martin—perusahaan pertahanan AS—itu ke Turki.
Bagaimana dengan Indonesia?
Victor Kladov, Direktur Kerja Sama Internasional dan Kebijakan Regional untuk Rostec, perusahaan induk pertahanan Rusia, melihat minat Indonesia pada Sukhoi Su-35 terganjal serius oleh CAATSA.
“Saya berbicara dengan pejabat Angkatan Udara Indonesia dan ia menyinggung CAATSA. Dari ucapannya, saya mengerti mereka menerima ancaman. Peralatan militer mereka tak hanya bergantung pada Rusia; sebagian besar buatan AS. Jika sanksi dijatuhkan, maka AS akan menghentikan pasokan suku cadang sehingga bakal ada lubang pada pertahanan nasional mereka,” kata Kladov seperti dimuat dalam situs aviasi FlightGlobal .
Sejauh ini, Indonesia tampak menunda keputusan soal Sukhoi Su-35 sambil terus menjaga hubungan bilateral yang cukup intens dengan Rusia. Sepanjang 2020, Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto telah dua kali berkunjung ke Moskow. Yang terbaru pada bulan Juni di tengah pandemi.
Di Moskow, Prabowo bertemu dengan sejumlah pejabat Kemhan Rusia. Ia juga menghadiri parade ulang tahun ke-75 kemenangan Rusia atas Jerman di Lapangan Merah.
Apakah pemerintah RI sengaja mengulur waktu sampai Pemilu AS 2020 usai untuk melihat seperti apa arah angin pada rezim AS berikutnya?
Yang jelas, seperti kata Moeldoko, “Banyak faktor perlu ditimbang.”