Riset CELIOS: 15 Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Indonesia Bermasalah

17 September 2024 17:48 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Foto: ANTARA
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Foto: ANTARA
ADVERTISEMENT
Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengungkapkan 15 dari 18 Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Indonesia bermasalah dan berdampak buruk bagi masyarakat setempat.
ADVERTISEMENT
Peneliti CELIOS, Atinna Rizqiana, mengatakan saat ini terdapat 18 PLTP di Indonesia dengan kapasitas 2.597,51 megawatt (MW) per tahun 2023, serta ada 362 lokasi potensi panas bumi yang tersebar dari Sumatera hingga Papua.
Kiki, sapaan akrab Atinna, menyebutkan kurang lebih 2-3 tahun terakhir, panas bumi sering kali digadang-gadang sebagai pengganti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara yang paling stabil sebagai penopang beban dasar (baseload).
Dengan begitu, lanjut dia, pembangunan PLTP cukup masif beberapa tahun terakhir terutama di daerah Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi, Sumatera, dan Jawa.
"Melalui riset penelusuran media dan wawancara di lapangan, kita me-list dari 18 PLTP mana saja yang punya masalah, dan kami menemukan dari 18 PLTP, 15 di antaranya semua berujung pada masalah," ungkapnya saat media briefing biweekly CELIOS, dikutip Selasa (17/9).
ADVERTISEMENT
Kiki mengungkapkan berbagai masalah yang menimpa PLTP. Pertama, kekeringan yang disebabkan gas H2s atau buangan pembangkit, menimpa tanaman perkebunan warga.
Menurutnya, masalah utama dari panas bumi adalah seluruh proyek di Indonesia berlokasi di pegunungan, sehingga lekat dengan kehidupan dan mata pencaharian masyarakat setempat yang bergantung pada tanah yang subur.
"Kekeringan yang terjadi baik di pekarangan ataupun perkebunan aktif warga, itu salah satu yang paling banyak terjadi. Hal ini tentu saja berdampak pada menurunnya produktivitas hasil kebun, menurunnya hasil mata pencarian, sehingga mereka harus beradaptasi untuk mencari tambahan dan lain sebagainya," tutur Kiki.
Masalah kedua adalah pencemaran air yang disebabkan rembesan pada air tanah dan pengelolaan buruk air bahang. Pencemaran ini ditandai dengan perubahan warna, bau, rasa, dan temperatur terutama pada air konsumsi.
Ilustrasi pemanfaatan energi panas bumi. Foto: Dok. Istimewa
Kiki menjelaskan, pencemaran air ini biasanya disebabkan oleh rembesan pada air tanah karena pengelolaan yang buruk dari segi operasional sehingga muncul fracking. Fracking merupakan retakan lapisan batuan sehingga air panas yang ada di dalamnya bisa merembes dan kemudian ditambang uap panasnya.
ADVERTISEMENT
"Itu sering kali menyebabkan rembesan pada air tanah warga, dan yang kedua juga pada saat hasil buangan air itu disuntikkan kembali ke dalam bumi, itu sudah terkandung banyak sekali material-material kimia," ungkapnya.
Selain ditandai dengan perubahan warna, bau, rasa, termasuk temperatur pada air yang dikonsumsi sehari-hari, pencemaran air di lokasi PLTP juga berdampak pada kesuburan tanaman. Misalnya terjadi di PLTP Dieng, Jawa Tengah.
"Kebun itu sudah sangat-sangat, kalau kita lihat secara langsung, itu tidak layak bahkan sudah berubah warna, sudah berubah bau, dan rasa, sudah kelihatan sekali," imbuh Kiki.
Masalah selanjutnya adalah terkait konflik lahan, terutama pada pengadaan tahap awal eksplorasi dan eksploitasi panas bumi. Kiki mencontohkan salah satunya di PLTP Ulumbu, Poco Leok, NTT.
ADVERTISEMENT
"Tanah-tanah adat sering kali kemudian dilangkahi, tiba-tiba ada proses sertifikasi, tiba-tiba ada proses pilarisasi, dan segala macam yang mereka tidak tahu sebelumnya dan tidak ada persetujuan apa pun dari mereka. Tentu saja ini berakibat pada hilangnya penghidupan karena berkurangnya lahan garapan," ujar Kiki.
Kemudian yang terakhir adalah masalah kecelakaan operasional. Kiki menyebutkan, masalah ini terjadi baik pada proses eksplorasi maupun eksploitasi, contoh yang paling baru dan sering terjadi adalah PLTP Sorik Marapi.
Kiki mengungkapkan, berdasarkan catatan CELIOS, setidaknya ada 14 kecelakaan yang terjadi dari tahun 2007 hingga 2024. Meski demikian, ada kemungkinan kecelakaan terjadi sebelum tahun 2007.
"Salah satu penyebabnya yang lazim terjadi adalah karena meledaknya pipa karena tekanan yang sangat besar, dan meledaknya pipa ini tidak hanya mengakibatkan luka-luka bagi orang di sekitarnya, tapi juga kematian, penurunan kesuburan tanah, dan tentu saja masalah kesehatan karena keracunan," jelasnya.
ADVERTISEMENT

Penurunan Kesejahteraan dan Ekonomi

Kiki menambahkan, PLTP selalu digadang-gadang meningkatkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Namun, CELIOS mencatat beberapa hal yang membuktikan fakta di lapangan.
CELIOS mencatat proyek panas bumi di Wae Sano, Sokoria, dan Ulumbu NTT berisiko merugikan ekonomi daerah sebesar Rp 1,1 triliun dan menurunkan serapan tenaga kerja hingga 50.609 orang di tahun kedua beroperasinya pembangkit.
"Waisano ini belum ada PLTP-nya, tapi sedang dalam proses eksplorasi. Tapi warganya menolak dan sampai sekarang belum ada kelanjutan dari investasi larena terakhir World Bank yang akan investasi, tapi karena penolakan warga, kemudian dibatalkan," katanya.
Kiki menambahkan, setidaknya terjadi pengurangan pekerjaan nasional sebesar 20/671 orang yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan pertanian dan air yang disebabkan pembangunan PLTP di NTT.
ADVERTISEMENT
Kemudian, pendapatan dari petani NTT berkurang Rp 430 miliar di tahun pembangunan. Hal ini, menurut CELIOS, menunjukkan arah keberpihakan pembangunan nasional yang tidak pro pada kedaulatan pangan.
"Jadi adanya kenaikan itu hanya terjadi pada tahap konstruksi, pada kurang lebih di tahun-tahun awal, satu sampai dua tahun pertama," tandas Kiki.