Sederet Kebijakan Ekonomi Liz Truss yang Justru Ancam Resesi di Inggris

21 Oktober 2022 11:37 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perdana Menteri Inggris yang baru Liz Truss menyampaikan pidato di luar Jalan Downing Nomor 10, di London, Inggris, Selasa (6/9/2022). Foto: Henry Nicholls/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Perdana Menteri Inggris yang baru Liz Truss menyampaikan pidato di luar Jalan Downing Nomor 10, di London, Inggris, Selasa (6/9/2022). Foto: Henry Nicholls/REUTERS
ADVERTISEMENT
Perdana Menteri (PM) Inggris, Liz Truss, memutuskan untuk mengundurkan diri pada Kamis (20/10). Keputusan tersebut hanya berselang 45 hari setelah ia terpilih.
ADVERTISEMENT
Mengutip The Straits Time, Jumat (21/10), pengunduran diri tersebut seiring dengan sejumlah kebijakan ekonomi yang dia jalankan, namun tak berhasil menyelematkan ekonomi Inggris. Kebijakan ekonomi yang disebut Trussnomics itu justru memicu kepanikan di pasar keuangan Inggris.
Ekonomi Inggris mengalami ketidakpastian imbas pandemi COVID-19 hingga situasi global yang memanas. Namun, Truss justru mengambil kebijakan yang dinilai klise, seperti memangkas tarif pajak hingga mendorong pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan belanja pemerintah.
"Saya tidak bisa meneruskan mandat yang membuat saya dipilih oleh Partai Konservatif," kata Truss saat mengumumkan pengunduran dirinya.
Kekacauan ekonomi Inggris tak lepas dari kebijakan yang telah dibuat Truss. Di bawah kepemimpinan Truss, pemerintah Inggris meluncurkan rencana ekonomi dengan memberikan insentif pajak senilai 45 miliar poundsterling (GBP) atau setara dengan Rp 786 triliun.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut membuat pemerintah Inggris harus mengeluarkan kocek lebih dalam dengan cara menerbitkan utang atau obligasi. Sayangnya, obligasi pemerintah Inggris sepi peminat. Sehingga, imbal hasil obligasi tersebut melambung dan menyentuh 4 persen, nilai tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir.
Tak hanya itu, nilai tukar poundsterling terhadap dolar AS juga mencatat level terendah sejak 1985, mencapai GBP 1.069. Nilai tukar yang melemah ini membuat inflasi Inggris melonjak dan suku bunga meningkat. Hal tersebut membuat Inggris terancam mengalami resesi.
"Bank of England terpaksa melakukan intervensi untuk mencegah krisis menyebar ke ekonomi yang lebih luas dan menempatkan dana pensiun dalam risiko," tulis laporan tersebut.
Usai kekacauan tersebut, Truss memutuskan untuk memecat Menteri Keuangan, Kwarteng, dan menggantinya dengan Jeremy Hunt. Tiga hari setelah menjabat, Hunt memutuskan untuk mencabut hampir seluruh kebijakan pajak yang direncanakan Truss dan Kwarteng.
ADVERTISEMENT
Hunt mengatakan pemerintah perlu menghemat miliaran poundsterling dan menurutnya, ini merupakan keputusan sulit yang harus dibuat, sebelum menetapkan rencana fiskal jangka menengah pada 31 Oktober mendatang.
"Prospek ekonomi Inggris telah memburuk selama berminggu-minggu, dengan inflasi mendekati level tertinggi dalam 40 tahun. Hal tersebut melemahkan kepercayaan konsumen. Goldman Sachs memangkas perkiraannya selama akhir pekan, dan survei ekonom oleh Bloomberg mengantisipasi resesi mulai tahun ini diikuti oleh pertumbuhan nol hingga akhir 2023," kata laporan tersebut.
Truss memiliki gagasan untuk mendorong pertumbuhan, yakni menjaga stabilitas moneter, inflasi, dan fiskal. Padahal, di tengah situasi Inggris yang mengalami krisis saat ini, kebijakan utama adalah menenangkan pasar dengan kebijakan yang realistis.
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) memproyeksi pertumbuhan ekonomi Inggris akan melambat menjadi 3,4 persen tahun ini, dan 0,0 persen tahun depan.
ADVERTISEMENT
Trussonomics membuat investor melepas obligasi Inggris. Kebijakan Truss yang mendorong belanja pemerintah dan memangkas pajak dinilai sebagai pemanis.