Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Sahut-sahutan pedagang memenuhi ruangan lantai dasar Pasar Senen Blok III. Menjelang sore di akhir pekan, hilir mudik pembeli dan pedagang yang tengah berjualan semakin menambah sesak pasar di pusat Ibu Kota Jakarta.
ADVERTISEMENT
Salah satu sisi eskalator yang seharusnya bekerja mengantarkan orang menuju lantai yang lebih tingi terlihat kaku tak bergerak. Imbasnya, orang-orang yang menaikinya harus berjalan satu demi satu anak tangga mesin tersebut.
Tepat di bawah eskalator itu ada Rachmat, pria berusia 25 tahun yang tengah sibuk berteriak menawarkan dagangannya. Sejak beberapa tahun terakhir, dia menekuni profesi sebagai tukang kue jajanan pasar di lantai dasar Pasar Senen Blok III.
Hanya saja, saat ini usaha yang digelutinya tengah mengalami sepi pembeli. Menurut pengakuannya, Pasar Senen hanya ramai didatangi pembeli saat akhir pekan saja. Bahkan, dia mengaku omzet hariannya bisa berkurang 18 persen pada hari kerja dibandingkan akhir pekan.
"Sekarang ngurangnya paling 18 persen, pembelinya ramen sekarang Sabtu dan Minggu saja," kata Rachmat saat ditemui di lapak dagangannya, Sabtu (26/10).
ADVERTISEMENT
Belakangan, pasar tradisional di Jakarta memang dikabarkan sepi pengunjung. Sontak, kondisi itu berimbas ke penghasilan para pedagang di pasar.
Meski begitu, Rachmat mengaku punya memiliki strategi lain agar dagangannya tetap dapat laku dibeli pelanggan, yaitu dengan memilah dagangan yang masih dapat dijajakan malam hari, untuk dijual di lapaknya yang lebih strategis.
Sehingga, dia masih bisa mengamankan modal untuk terus menyambung kehidupan. "Kan dipindahin ke depan, di ke malemin. Ada strateginya dioper," terangnya.
Senada dengan Rachmat, Kokom juga mengaku demikian. Lebih dari 50 persen dagangannya tak ada yang melirik kala hari kerja tiba. Dia menyebut, sepinya pasar tradisional tidak hanya dirasakan olehnya, tetapi juga rekan-rekan seprofesinya di berbagai pasar tradisional yang lain di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, perempuan paruh baya itu mengaku tidak ada pilihan lain, selain tetap menekuni profesi yang telah dijalaninya selama beberapa tahun terakhir.
“Sabtu-Minggu air mineral bisa habis 80 biji, hari Senin sampai Jumat mah 25 aja kadang-kadang enggak habis. Saya dari dulu di sini mau sepi mau enggak, tetep di sini, saya lakonin,” tutur Kokom.
Selain itu, saat ditanya soal ekspansi sistem pembayaran ke arah digutal, Kokom mengaku masih enggan melakukan itu. Menurutnya, uang tunai masih menjadi pilihan terbaik untuk diterapkan pedagang kecil seperti dia.
Selain Rachmat dan Kokom, ada juga Yogi, pedagang kaos kaki yang mengaku kesulitan mendapatkan pembeli sejak lima bulan terakhir. Bahkan, pria 22 tahun tersebut mengaku kehilangan omzet harian hingga 30 persen kala hari kerja tiba.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, Yogi harus berusaha lebih keras untuk menarik pengunjung agar melirik dagangan yang dijajakannya. “Sepi, semaksimal mungkin nawar-nawarin barang (jadi harus lebih aktif) iya. Sekarang kurangnya (omzet harian) 30 persen,” terang Yogi.
Berbeda dengan Kokom, Yogi mengaku telah mengadopsi sistem pembayaran QRIS untuk memudahkan transaksi pelanggan. Dia berharap langkah itu dapat menarik minat pelanggan untuk membeli barang di toko yang telah dikelolanya sejak satu tahun terakhir tersebut.
“Saya bisa QRIS, (tapi) rata-rata di sini kalau enggak cash ya transfer,” tutur Yogi.