Sri Mulyani Siap Kenakan Pajak Karbon, Ini Bocorannya

24 Agustus 2024 18:30 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menkeu Sri Mulyani dalam konferensi pers Devisa Hasil Ekspor di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (28/7/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menkeu Sri Mulyani dalam konferensi pers Devisa Hasil Ekspor di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (28/7/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengungkapkan regulasi mengenai pengenaan pajak karbon masih terus dibahas. Ia menjelaskan, persiapan yang tengah dilakukan pemerintah mencakup desain building block alias konsep model atau elemen kunci, regulasi, serta dari sisi industri.
ADVERTISEMENT
"Kita siapkan terus building block-nya, dari sisi peraturan dan regulasinya, kesiapan dari sisi perekonomian dan industrinya," jelasnya saat ditemui di Djakarta Theater, Sabtu (24/8).
Seiring dengan persiapan pajak karbon, dia mengatakan pemerintah meminta agar mekanisme perdagangan karbon melalui bursa karbon terus digencarkan.
"Tapi kan sekarang sudah ada karbon market melakukan cap and trade, itu saya rasa itu juga mekanisme yang bisa terus diakselerasi," kata Menkeu.
"Untuk menjaga komitmen tadi terhadap berapa emisi yang harus tetap dikontrol, itu ya," pungkasnya.
Sebelumnya, Kemenko Bidang Perekonomian mengatakan kebijakan pajak karbon sesuai dengan peta jalan yang sedang disusun dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) akan menyasar pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) fosil.
Deputi III Bidang Pengembangan Usaha dan BUMN Riset Inovasi Kemenko Perekonomian, Elen Setiadi, mengatakan pembahasan RPP Peta Jalan Pajak Karbon masih berlangsung.
ADVERTISEMENT
Pada tahap awal, kata dia, Peta Jalan diusulkan hanya mengatur penerapan pajak karbon bagi subsektor pembangkit listrik, menyesuaikan dengan peta jalan perdagangan karbon. Saat ini terdapat 146 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menjadi peserta perdagangan karbon subsektor pembangkit listrik di tahun ini.
"Selanjutnya fase kedua akan ditambah dengan pengenaan terhadap pembelian bahan bakar fosil untuk sektor transportasi," ungkap Elen saat Webinar Perdagangan dan Bursa Karbon, Selasa (23/7).
Elen menuturkan, pengenaan pajak karbon terhadap dua subsektor ini diharapkan dapat mencakup sekitar 71 persen jumlah emisi dari sektor energi, yakni 48 persen dari sektor pembangkit dan 23 persen dari transportasi atau 47 persen dari emisi di Indonesia selain dari FOLU (Forest and Other Land Use).
ADVERTISEMENT
Adapun pemerintah berencana menerapkan pajak karbon sejak 1 April 2022 sesuai Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, rencana ini terus mundur.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah belum menerapkan pajak karbon pada 2025. Sebab, skema pengenaannya juga masih digodok.
Tak hanya itu, Airlangga juga menyebut Eropa baru akan mengenakan pajak karbon di 2026. "Belum (2025). Di Eropa 2026, di Indonesia menjelang 2026," ujar Airlangga di Istana Negara, Jakarta, Selasa (26/9/2023).
Dia menjelaskan, pajak karbon dibutuhkan untuk mengantisipasi Carbon Border Adjusted Mechanism (CBAM) yang baru diberlakukan di Eropa pada 2026.