Tarif Listrik Tak Berubah Sejak 2022, Bom Waktu Bagi Keuangan PLN?

30 Juni 2024 19:01 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga memeriksa meteran listrik prabayar di Rumah Susun Benhil, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
zoom-in-whitePerbesar
Warga memeriksa meteran listrik prabayar di Rumah Susun Benhil, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
ADVERTISEMENT
Pemerintah memutuskan tidak menaikkan tarif dasar listrik di kuartal III 2024. Tercatat, tarif listrik baik untuk pelanggan golongan subsidi maupun nonsubsidi sudah tidak naik sejak 2022.
ADVERTISEMENT
Merujuk pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2023, penyesuaian tarif tenaga listrik bagi 13 golongan pelanggan nonsubsidi dapat dilakukan setiap 3 bulan mengacu pada perubahan terhadap realisasi parameter ekonomi makro, yakni kurs, Indonesian Crude Price (ICP), inflasi, serta Harga Batu Bara Acuan (HBA).
Berdasarkan acuan 4 parameter tersebut, saat ini pemerintah dimungkinkan mengambil pilihan untuk menaikkan tarif listrik.
Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS), Ali Ahmudi Achyak, menuturkan pemerintah ternyata memilih untuk menjaga laju inflasi tidak melonjak dan tidak menimbulkan gejolak menjelang transisi pemerintahan.
"Tentu ada pertimbangan khusus. Nampaknya saat ini pemerintah merasa lebih penting untuk mengendalikan inflasi, menghindari gejolak sosial dan menjaga pertumbuhan ekonomi dengan menunda kenaikan tarif listrik," ujar Ali kepada kumparan, Minggu (30/6).
ADVERTISEMENT
Adapun parameter ekonomi makro yang digunakan pemerintah untuk memutuskan tarif listrik kuartal III tahun 2024 adalah realisasi pada bulan Februari, Maret, dan April Tahun 2024, yaitu kurs sebesar Rp 15.822,65 per dolar AS.
Kemudian, rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar USD 83,83 per barel, inflasi sebesar 0,38 persen, dan HBA sebesar USD 70 per ton sesuai kebijakan DMO Batu bara.
Ali menilai, kebijakan ini sebenarnya tidak akan berdampak besar bagi PT PLN (Persero) secara finansial, karena pemerintah yang harus menanggung biaya subsidi atau membayar dana kompensasi.
"Justru citra PLN sejenak menjadi bagus di masyarakat karena tidak ada kenaikan tarif listrik," tutur Ali.
Petugas PLN mengganti meteran listrik di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Rabu (15/5/2019). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Meski demikian, Ali menyebut jika pemerintah malah menunda-nunda pembayaran subsidi dan kompensasi untuk menombok selisih harga jual listrik dengan Biaya Pokok Produksi (BPP) PLN, maka hal itu menjadi bom waktu bagi perusahaan.
ADVERTISEMENT
"Kebijakan itu akan menjadi bom waktu dan boomerang bagi PLN jika ternyata pemerintah tidak konsisten dan lalai dalam pembayaran biaya subsidi atau dana kompensasi kepada PLN yang telah berinvestasi besar dalam penyediaan listrik,” ujar Ali.
Ali menilai bagi pemerintah, kebijakan tidak menaikkan tarif listrik ini merupakan sebuah pertaruhan. Pasalnya, kenaikan biaya subsidi atau dana kompensasi pasti akan berdampak pada APBN dan bisa jadi membebani keuangan negara.
“Apalagi dalam kondisi saat ini di mana penerimaan negara sedang menurun sedangkan beban operasional pemerintah justru meningkat, pemerintah harus berpikir dan bekerja keras untuk meningkatkan pendapatan dari sektor lain untuk menutup APBN,” tutur Ali.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Padjadjaran (Unpad), Yayan Satyakti, mengatakan kondisi keuangan PLN tidak baik-baik saja, karena berdasarkan laporan audited, beban usaha PLN naik 13 persen di 2023. Sedangkan pendapatan naik 10 persen karena selisih kurs.
ADVERTISEMENT
“Saat ini kurs sudah berubah secara drastis, hal ini akan membalik seperti kondisi tahun 2023 di mana PLN terbebani Rp 19 triliun, karena selisih kurs,” ujar Yayan.